Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Yudisial (KY) mengungkapkan adanya tiga hambatan dalam kewenangannya mengawasi hakim di Indonesia terkait pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
Sukma Violetta, Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi KY menyatakan hal tersebut, Senin (31/12/2018) di kantor Komisi Yudisial, Senen, Jakarta Pusat.
Sukma memaparkan hambatan pertama, yaitu masih adanya tumpang tindih penanganan tugas pengawasan antara KY dan Mahkamah Agung (MA).
Seperti diketahui, KY hanya bisa merekomendasikan sanksi kepada hakim terlapor yang melanggar KEPPH ke MA.
Sukma menyebut dalam beberapa kasus, KY masih kesulitan untuk meminta keterangan hakim terlapor walaupun telah mengumpulkan saksi dan bukti bahwa hakim tersebut bersalah sehingga pengajuan rekomendasi tertunda.
Menurut Sukma, hal ini sanggup dimanfaatkan oknum hakim yang ingin menghindari sanksi berat. Sebab, putusan sanksi dari MA boleh berbeda dari usulan KY apabila pengajuan rekomendasi sanksi tertunda. Alhasil, dalam beberapa kasus, putusan MA seringkali lebih ringan dari rekomendasi KY.
"Ada satu hal di mana kami tidak bisa cepat karena KY terikat dalam ketentuan harus memuliakan hakim. Bentuknya antara lain, apabila meminta keterangan hakim terlapor, maka ada waktu, tidak bisa hari ini panggil besoknya datang," jelas Sukma.
"Mungkin karena itu juga, menjadikan khusus pemeriksaan [hakim] terlapor memang MA [bisa mendapatkannya] lebih dulu," ungkapnya.
Hambatan kedua yaitu kurangnya informasi yang didapatkan KY sebab adanya kebijakan berkas template hasil putusan yang lebih tipis dari sebelumnya sejak 2014.
Berkas tersebut merupakan kebijakan MA untuk mempercepat proses peradilan dengan hanya menyertakan pertimbangan hukum, identitas, dan hasil putusan. Sebelumnya, berkas template putusan dilengkapi dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi, terdakwa, dan pelapor, kronologi peristiwa, serta hal-hal terkait latar belakang kasus sehingga terlihat lebih tebal.
Ketua KY Jaja Ahmad Jayus menyatakan hal ini memang bisa mempercepat proses peradilan. Tetapi dalam beberapa kasus, berkas pelengkap tersebut sering tidak bisa diakses oleh KY.
Padahal berkas pelengkap ini merupakan salah satu pertimbangan KY dalam menilai ada tidaknya pelanggaran yang dilakukan seorang hakim.
"KY sering tidak memperoleh akses informasi atau data yang dibutuhkan saat menangani laporan masyarakat, karena MA atau badan peradilan di bawahnya tidak bersedia memberikan hal itu," ungkap Jaja dalam keterangan resminya.
Terakhir, KY menyatakan hambatan utamanya bahwa tidak ada jaminan MA mau menindaklanjuti semua kasus pelanggaran hakim.
Sebab itulah Wakil Ketua KY Maradaman Harahap berharap adanya UU Jabatan Hakim (UUJH) di masa depan yang memberi kewenangan KY untuk sanggup menjatuhkan sanksi bagi hakim yang melanggar kode etik.
Sebab, Maradaman menilai UU JH bisa memperkuat kelembagaan KY dan menghindari tumpang tindih kewenangan dengan MA.
"KY hanya diberi kewenangan untuk mengusulkan sanksi [sekarang]. Jadi tidak bisa jatuhkan sanksi sendiri. Kami dorong [UU JH] karena nanti KY bisa semakin kuat kelembagaannya. Sekarang [hanya bisa] kirim surat ke MA, MA bisa tidak setuju. Kalau tidak setuju ya, ditolak," ungkap Maradaman.
"Ke depan kita berharap UU JH ini, karena ada beberapa pasal yang mengatur tentang penguatan KY, Jadi kalau hakim terbukti bersalah langsung dijatuhi sanksi oleh KY," tambahnya.