Kabar24.com, JAKARTA — Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Amin Mudzakkir menilai gerakan 212 saat ini tidak bisa dimaknai hanya sebagai bagian dari politik elektoral. Namun dalam konteks Islam di Indonesia aksi tersebut mencerminkan kekuatan konservatisme yang semakin tumbuh.
Amin mengakui, di awal kemunculannya gerakan 212 pada 2017 memang digunakan sebagai instrumen politik elektoral dalam konteks pemilu kepala daerah Jakarta.
“Tapi menurut saya 212 itu memang mencerminkan sebuah gerakan yang dalam konteks sejarah Islam Indonesia itu memang merepresentasikan sebuah kekuatan konservatisme yang semakin tumbuh,” ujarnya dalam sebuah diskusi yang digelar oleh Populi Center, Kamis (29/11/2018).
Seperti diketahui, Minggu (2/12/2018) persaudaraan alumni 212 akan menggelar reuni akbar 212 di Monumen Nasional. Terkait hal itu, Amin menilai pada level elit gerakan tersebut memang terjadi perpecahan.
Tapi, sebagai sebuah aspirasi sosiologis dan politis di tengah masyarakat arus bawah, dia menilai ‘simbol-simbol’ dan spirit 212 masih dijaga. Menurutnya, spirit itu tumbuh dalam komunitas muslim yang secara historis dan kultural punya ikatan kuat dengan imajinasi Islam politik.
Dia menjelaskan Islam politik yang dimaksud adalah sebuah aspirasi yang mencoba untuk melihat Indonesia sebagai lahan munculnya sebuah format atau bentuk negara yang lebih Islami.
“Tidak harus negara Islam. Tidak harus mengubah Pancasila dan NKRI tetapi sebuah bentuk kenegaraan yang di situ syariah versi mereka, bagi kelompok-kelompok ini bisa diaktualisasikan,” ujarnya.
Aspirasi itu menurutnya terlihat masih sangat kuat terutama di wilayah-wilayah yang secara historis dan kultural punya koneksi yang kuat dengan imajinasi Islam politik. Dalam survei LIPI di sejumlah provinsi yaitu di Aceh, Sumatra Utara, di seluruh Jawa, dan Sumatra Selatan hal itu jelas terlihat.
Terutama di tiga provinsi, yaitu Aceh, Banten dan Jawa Barat di mana aspirasi Islam politik itu sangat kuat. Hal itu tergambar dari kecenderungan orang untuk memilih Pancasila tapi dengan isi syariat, kata dia, luar biasa tinggi yaitu di atas 60% dari populasi responden.
“Angka ini menurut saya adalah basis sosial dari apa yang kita sebut sebagai 212. Dan mereka bisa dimobilisasi untuk apapun tergantung apakah mereka punya sumber daya yang cukup untuk melakukan itu,” tuturnya.
Lebih jauh dia menjelaskan, gerakan 212 bisa digunakan untuk apa pun. Khususnya, digunakan dalam kepentingan elektoral. Dalam konteks tersebut, Amin memetakan permasalahan yang timbul.
Yaitu masyarakat yang merasa terafiliasi dengan gerakan tersebut tak peduli mereka menghadapi pilihan antara Islam atau non Islam. Tapi siapa pun yang dinilai oleh mereka tak sejalan, dianggap sebagai lawan dari paham keagamaan mereka.
“Dalam konteks pemilu 2019 meskipun pasangan yang berhadapan sama-sama Islam, tapi paling tidak jargon-jargon atau isu yang dilontarkan oleh mereka di komunitasnya secara internal kurang lebih akan sama seperti yang mereka lakukan dalam pilkada Jakarta kemarin,” ucapnya.