Bisnis.com, JAKARTA - Sebuah sumber yang berhubungan langsung dengan proses repatriasi Rohingnya menyebut rencana pemulangan gelombang pertama ke Myanmar yang sedianya dimulai pada Kamis (15/11/2018) ditunda.
Rencana repatriasi adalah hasil kesepakatan Bangladesh dan Myanmar pada Oktober lalu. Kedua negara berencana melakukan repatriasi gelombang pertama pada sekitar 2.200 orang Rohingya.
Myanmar mengklaim pihaknya telah menyiapkan berbagai langkah untuk memastikan etnis Rohingya yang kembali akan memiliki lingkungan yang aman.
Sementara itu, rencana tersebut ditentang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lantaran belum ada jaminan yang mendukung klaim keamanan Myanmar.
Sementara itu, Bangladesh berjanji tidak akan memaksa nama-nama yang tercantum dalam daftar untuk kembali ke Myanmar.
Mereka juga telah meminta Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) memastikan bahwa orang Rohingya yang masuk daftar benar-benar menginginkan hal tersebut.
"Tidak akan terjadi [pemulangan] besok karena tidak ada seorang pun yang ingin kembali," kata salah satu sumber yang enggan disebut namanya, Rabu (14/11/2018), sebagaimana dilansir Reuters.
Sumber tersebut mengatakan pemerintah Bangladesh juga telah mengeluarkan pengumuman resmi soal penundaan. Namun, hingga kini belum ada komentar lebih lanjut dari pemerintah Bangladesh.
Sumber lain menyebutkan pemerintah Bangladesh yang bertanggung jawab atas program ini melakukan pertemuan pada Rabu untuk memastikan komitmen mereka pada pemulangan sukarela terus dipegang.
Awal minggu ini, puluhan etnis Rohingya dikabarkan meninggalkan kamp pengungsi di Cox's Bazaar karena namanya berada di daftar repatriasi.
"Sekitar 48 keluarga yang diwawancarai UNHCR mengatakan tidak mau direpatriasi," tutur sumber tersebut.
Sebanyak 20 individu yang diwawancara Reuters juga mengatakan hal serupa. Mereka tidak mau kembali ke Myanmar dengan alasan masih merasa takut.
Lebih dari 700.000 orang Rohingya melarikan diri dari kekerasan tentara di negara bagian Rakhine Myanmar pada 2017. Pengungsi Rohingya mengatakan tentara melakukan pembantaian terhadap keluarga mereka, membakar ratusan desa dan melakukan pemerkosaan.
Tim Pencari Fakta (TPF) PBB juga telah mengumpulkan bukti-bukti yang mengarah pada indikasi militer Myanmar melakukan genosida dan pembersihan etnis yang sistematis.
Sementara itu, Myanmar menyangkal hampir semua tuduhan. Mereka berkata operasi militer di Rakhine adalah untuk memerangi aksi ektremis dari kelompok gerilyawan yang menyebut diri sebafai Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).