Kabar24.com, JAKARTA — Terdakwa kasus korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung membacakan pleidoinya pada Kamis (13/9/2018).
Di dalam pleidoi tersebut, Syafruddin mengatakan dirinya merasa heran, aneh, janggal, serta terkesan ada hal yang dipaksakan terkait dengan penuntasan kasus BLBI yang sejauh ini masih mendakwa dirinya.
"Sejak ditetapkan tersangka bulan Maret 2017 hingga saat ini, kami membacakan di pembelaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, kami masih merasa heran, aneh, janggal dan terkesan dipaksakan atas kontruksi hukum yang dibuat oleh penyidik dan penuntut umum KPK yang telah menetapkan tersangka dan terdakwa dalam pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim," ujar Syafruddin DI pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (13/9/2018).
KPK, menurutnya, dengan sengaja tidak mengatakan fakta hukum sebelum dimulainya persidangan.
Berikut tujuh poin pleidoi Syafruddin Arsyad Temenggung:
1.Pergantian MSAA-BDNI adalah pergantian perdata yang dibuat oleh pemerintah dan diwakili oleh Menteri Keuangan serta Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dengan pemegang saham.
Oleh karena itu, ucap Syafruddin, sangat janggal dan tidak masuk akal masalah perdata disidang di pengadilan tipikor.
"Seharusnya KPK menyampaikan temuannya kepada pemerintah dan diselesaikan dan dievaluasi secara perdata dengan pemegang saham BDNI,"
2.Perjanjian MSAA-BLBI telah dinyatakan selesai oleh Menteri Keuangan Bambang Subianto pada 25 mei 1999.
Syafrudin mengatakan saat itu jauh sebelum dirinya menjabat sebagai ketua BPPN, serta kasus kemudian dinyatakan selesai berdasarkan evaluasi kepatuhan oleh KKSK tanggal 17 maret 2004 dan berdasarkan Intruksi Presiden Nomor 8 tahun 2002.
"Mempersoalkan penyelesaian MSAA-BDNI pada tahun 2017-2018 saat ini jelas telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengakibatkan demotivasi dunia usaha dan tingkat kepercayaan terhadap ekonomi Indonesia yang terus merosot sejak awal tahun 2017, yang dicerminkan dengan anjloknya nilai mata uang rupiah terhadap dolar USA dan hampir sama dengan krisis tahun 1997,"
3. Proses penerbitan BLBI kepada Syamsul oleh dirinya selaku Ketua BPPN pada 2004 telah sesuai prosedur dan kebijakan perundang-undangan yang ada dan telah di audit oleh BPK yang menyatakan SKL layak diberikan oleh BDNI karena Sjamsul Nursalim menyelesaikan tugasnya di MSAA serta sesuai dengan pijakan pemerintah dan Inpres nomor 8 tahun 2002.
"Artinya, tindakan penerbitan SKL tidak bertentangan dengan hukum dan tidak menyalahi kewenangan kami sebagai Ketua BPPN.
4.Penyidik dan JPU KPK mengatakan bahwa ada kewajiban hutang petambak Rp4 triliun yang belum diselesaikan Sjamsul pada pernyatan sepihak tahun 1999 (misrepresentasi), kenyataannya BPPN pada bulan Juli 2000 sebelum masa akhir dirinya menjabat Ketua BPPN, terdakwa telah melaporkan pengaduan, menebitan KKSK pada Juni 2002, sehingga tidak ada misrepresentasi .
"Keanehannya adalah KPK dengan sengaja memotong bagian penting dari informasi dan kebijakan penyelesaian MSAA-BDNI sejak tahun 2000-2004, hanya melihat misrepresentasi tahun 1999 dan langsung didakwakan tahun 2018. Sehingga objektifitas JPU KPK menjadi sangat diragukan dan tendensius untuk menghukum kami," ujarnya.
5.Hutang Plasma Rp4,8 triliun dalam MSAA-BDNI bukan bagian dari kewajiban yang dibayar oleh Sjamsul Nursalim. Hutang tersebut merupakan aset BDNI yang digunakan sebagai faktor pengurang dalam menghitung kewajiban BDNI.
6.Penutupan BPPN 2004 atas perintah KKSK, hutang Rp4,8 triliun telah diserahkan kepada Menteri Keuangan dan selanjutnya pada 10 Juni 2004 di mana pada saat itu Syafruddin sudah tidak menjabat. Menteri Keuangan membuat berita acara serah terima pada 2004, termasuk hutang plasma Rp4,8 triliun.
"Artinya menteri keuangan telah menerima pengalihan hutang plasma sebesar Rp4,8 triliun," papar Syafruddin.
7.Perjanjian MSAA-BDNI adalah salah satu upaya Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang dinyatakan oleh pemerintah telah selesai.
Terdakwa menjelaskan, terdapat 23 pemegang saham yang tidak mau dan tidak menyelesaikan PKPS, dan tidak mau membayar hutang BLBI.
Terkait dengan hal tersebut, KPK sebagai penegak hukum justru mempersoalkan MSAA-BDNI yang sudah dinyatakan selesai oleh pemerintah, bukannya mengejar pengguna BLBI yang tidak kooperatif.
"Jelasnya penegakan hukum oleh KPK tidak memperhatikan azas keadilan, dan manfaat bagi masyarakat. Boleh jadi, KPK mempidakan MSAA-BDNI telah terhasut kampanye dan siasat pengguna BLBI yang tidak mau membayar atau melunasi kewajiban. Konglomerat hitam yang secara sistematis sejak tahun 2002 membuat opini MSAA-BDNI belum selesai.
"Konglomerat hitam tersebut dapat lolos dari jerat kewajiban BLBI yang selesai dipidana, yang ngemplang dibiarkan bebas. Itulah anomali penegakan hukum di Indonesia.
Seusai persidangan, Jaksa Penuntut Umum KPK Kiki Ahmad Yani mengatakan KPK tidak mempermasalahkan pledoi Syafruddin karena merupakan persepsi terdakwa.
Namun, pihaknya juga menolak dikatakan tendensius dalam menangani perkara BLBI.
"Persepsi beliau. Kalau terdakwa berpendapat seperti itu, ya, tidak apa-apa. Yang penting kita tidak tendensius. Selama menangani perkara kita pernah ada tendensi untuk siapapun. Keliru, kalau dibilang tendensius," ujar Kiki.
Pada 3 September 2018, Penuntut Umum KPK menuntut Syafruddin Temenggung dengan hukuman 15 tahun penjara.
Dalam sidang lanjutan perkara korupsi penerbitan surat keterangan lunas BLBI dengan agenda pembacaan tuntutan, tim penuntut umum KPK menyatakan bahwa Syafruddin mengklaim Presiden Megawati Soekarnoputri menyetujui penghapusan utang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM).
“Padahal ratas [rapat terbatas] tidak pernah mengambil keputusan untuk dilakukan penghapusan. Terdakwa mengetahui bahwa belum ada persetujuan Presiden terkait write off atau penghapus bukuan terkait utang petambak Dipasena, tapi terdakwa tetap mencantumkan bahwa usulan penghapusan atas porsi unsustainable tambak plasma sebesar Rp2,8 triliun tersebut adalah atas persetujuan Presiden pada ratas 11 Februari 2004,” jelas I Wayan Riana, salah seorang penuntut umum KPK dalam sidang, Senin (3/9/2018).
Atas perbuatannya, penuntut umum meminta majelis hakim yang diketuai oleh Yanto, Ketua PN Jakarta Pusat, untuk menjatuhkan hukuman selama 15 tahun penjara kepada Syafruddin Temenggung dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan penjara.