Bisnis.com, JAKARTA—Perdebatan soal penanganan kasus suap terkait kesepakatan kontrak kerja sama proyek pembangunan PLTU Riau-1 yang melibatkan mantan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham dan politisi Senayan Eni Saragih terus mencuat. Perdebatannya dipicu oleh dua opini, apakah kasus itu bisa diperluas jadi pidana korporasi atau tidak.
Artinya, pengusutan kasus itu cukup berhenti dengan menyasar oknum pelaku dari kedua kader Partai Golkar tersebut tanpa menyentuh partai sebagai korporasi. Padahal, diduga hasil korupsi itu masuk ke biaya penyelenggaraan Munaslub partai sebagaimana diakui Eni.
Abdul Ficar Hadjar, Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, berpendapat Partai Golkar bisa dijerat pidana korporasi dalam kasus tersebut. Menurutnya, partai politik bisa dikategorikan sebagai sebuah badan organisasi.
"Jika pengertian korporasi UU Tipikor berdiri sendiri tidak berkaitan dengan pengertian dalam hukum bisnis, maka parpol dapat didefenisikan dengan korporasi sebagai kumpulan orang terorganisasi yang berbentuk badan hukum," kata Fickar, Rabu (5/9/2018).
Lebih jauh Fickar mengatakan bahwa berdasarkan Undang-Undang yang berlaku, masa hukuman organisasi hanya berlangsung selama satu tahun.
“Oleh sebab itu, Partai Golkar bisa dinonaktifkan (penutupan) selama satu tahun setelah dituntut korupsi dan terbukti," ujarnya, Rabu (5/9/2018).
Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, ujarnya, pengertian korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Akan tetapi, dia menyebut bahwa partai politik bukan badan hukum dalam konteks bisnis.