Bisnis.com, JAKARTA -- Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengatakan tim KPK melakukan penggeledahan terkait dengan kasus suap proyek PLTU Riau-1 di PT Pembangkitan Jawa-Bali (PJB) Indonesia di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Senin (16/7/2018) malam.
"Saya baru mendapat informasi dari penyidik, tim juga sudah berada di PJB Indonesia Power di Jalan Gatot Subroto untuk lakukan penggeledahan terkait dengan kasus dugaan suap PLTI Riau-1," ujar Febri Diansyah lewat pesan Whatsapp.
Adapun, lanjut Febri, penggeledahan tersebut tepatnya dilakukan di ruang Direktur Utama dan Direksi PJBI.
"Tadi penggeledahan dilakukan di ruang Dirut dan Direksi PJBI. Menurut informasi yang disampaikan ke tim, Dirut sedang dalam perjalanan ke kantor PJBI. Penyidik menunggu di lokasi sembari tetap melakukan proses penyisiran bukti-bukti terkait perkara ini," paparnya.
Dengan demikian, pada malam ini terdapat tiga lokasi yangg digeledah oleh tim KPK, yaitu:
•Kantor PLN
•Ruang kerja tsk EMS di DPR-RI
•Kantor PJB Indonesia Power
Baca Juga
Seperti diberitakan sebelumnya, hari ini KPK sudah melakukan penggeledahan di beberapa lokasi dan masih berlangsung hingga saat ini.
"Hari ini kita lakukan penggeledahan di dua lokasi, baru mulai malam ini dan tim masih berada di lokasi. Kami perlu melakukan penggeledahan ini karena ada sejumlah bukti yang kami duga berada di kantor PLN dan ruang kerja tersangka EMS tersebut, baik diteliti terkait dengan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan kerja sama dan pembangunan PLTU Riau-1 atau pun bukti-bukti yang lain," paparnya.
Febri melanjutkan penggeledahan tersebut merupakan tindak lanjut dari proses penyidikan dugaan suap terkait dengan proyek PLTU di Riau-1.
"Di kantor PLN tentu kami perlu melakukan penggeledahan sebagai tindak lanjut dari proses penyidikian dugaan suap terkait dengan proyek PLTU di Riau-1. Jadi, ini masih proses penyidikan yang sama dengan yang kita umumkan dua hari yang lalu dan merupakan tindak lanjut juga dari lima lokasi kemaren," ucapnya.
Adapun, penggeledahan tersebut dilakukan terkait dengan adanya sejumlah barang bukti yang diduga oleh KPK berada di lokasi, yakni di kantor PLN dan DPR RI.
"Kami perlu melakukan penggeledahan ini karena ada sejumlah bukti yang kami duga berada di kantor PLN dan ruang kerja tersangka EMS tersebut, baik diteliti terkait dengan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan kerja sama dan pembangunan PLTU Riau-1 atau pun bukti-bukti yang lain," lanjut Febri.
Sehari sebelumnya, Minggu (15/7/2018), KPK melakukan pengeledahan di rumah Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir yang berlokasi di kawasan Benhil, Jakarta Pusat.
Adapun, saat itu penggeledahan dilakukan bukan saja di satu lokasi, terdapat empat lokasi lain yang digeledah oleh KPK hari ini.
"Setelah kemarin mengumumkan penyidikan dalam kasus dugaan suap terkait pembangunan PLTU Riau-1,
hari ini, tim KPK melakukan penggeledahan di lima lokasi," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Minggu (15/7/2018).
Adapun, empat lokasi yang digeledah KPK tersebut, yaitu:
•Rumah tersangka Eni Maulani Saragib
•Rumah tersangka Johanes Budisutrisno Kotjo
•Kantor tersangka Johanes Budisutrisno Kotjo
•Apartemen tersangka Johanes Budisutrisno Kotjo
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan kegiatan yang dilakukan KPK di rumah Sofyan Basir tidak lebih dari penggeledahan.
"Masih proses penggeledahan saja, jadi belum ada penetapan tersangka," ujar Febri Diansyah kepada Bisnis.
Dia menjelaskan penggeledahan tersebut dilakukan terkait dengan kasus suap terkait proyek PLTU Riau-1.
"Benar, ada penggeledahan di rumah Dirut PLN yang dilakukan sejak pagi ini oleh tim KPK dalam penyidikan kasus suap terkait proyek PLTU Riau-1," ujar Febri Diansyah ketika dikonfirmasi Bisnis.
Sehari sebelumnya, KPK telah mengamankan anggota Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih di rumah Idrus Marham, Menteri Sosial RI, di Jakarta, Jumat (14/7/2018) serta mengamankan 13 orang dari proses OTT secara keseluruhan.
Ke-tiga belas orang tersebut diamankan secara berturut-turut sejak Jumat siang. Dari 13 orang yang diamankan, KPK menyebut lima orang di antaranya, yaitu:
•Eni Maulani Saragih, anggota Komisi VII DPR RI
•Johanes Budisutrisno Kotjo, swasta (pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd.)
•Tahta Maharaya, staf dan keponakan Eni Maulani Saragih
•Audrey Ratna Justianty, sekretaris Johanes Budisutrisno Kotjo
•M. Al-Khafidz, suami Eni Maulani Saragih
Adapun, delapan orang lain yang tidak disebutkan terdiri dari supir, ajudan, staf Eni Maulani Saragih, dan pegawai PT Samantaka.
"Dalam kegiatan ini KPK mengamankan sejumlah barang bukti yang diduga terkait tindak pidana, yaitu uang sejumlah Rp500 juta (dalam pecahan Rp 100 ribu), dan dokumen/tanda terima uang sebesar Rp500 juta tersebut," ujar Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan dalam konferensi pers di KPK, Sabtu (15/7/2018).
Uang tersebut, lanjut Basaria, diduga merupakan bagian dari komitmen fee 2,5% dari nilai proyek yang akan diberikan kepada diberikan kepada Eni Saragih dan kawan-kawan dengan kesepakatan kerja sma pembangunan PLTU Riau-1.
"Diduga penerimaan kali ini merupakan penerimaan ke-empat dari pengusaha JBK kepada EMS, dengan nilai total setidak-tidaknya Rp 4,8 miliar," lanjut Basaria.
Adapun, empat kali penyerahan tersebut dilakukan pada:
1. Desember 2017 sebesar Rp 2 Miliar
2. Maret 2018 Rp2 Miliar,
3. 8 Juni 2018 Rp300 juta
4. 14 Juli 2018 Rp500 juta
Diduga Eni Saragih berperan untuk memuluskan proses penandatanganan kerjasama terkait pembangunan PLTU Riau-1.
KPK telah meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan serta menetapkan dua orang tersangka, yaitu Eni Saragih diduga sebagai penerima, (anggota Komisi VII DPR RI), dan Johannes Budisutrisno Kotjo selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd. diduga sebagai pemberi.
Sebagai pihak yang diduga penerima, Eni Saragih disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara itu, sebagai pihak yang diduga pemberi, Johanes Budisutrisno disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.