Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah peraturan daerah (perda) di Kota Bogor dinilai bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yang berujung pada pembatalan tiga perda oleh Kementerian Dalam Negeri.
Ketiga perda tersebut adalah Perda Penyelenggaraan Menara, Perda Retribusi Jasa Umum, dan Perda Pengelolaan Sampah.
Berbagai perda di Kota Bogor memang sudah seringkali menjadi sorotan karena dipandang lebih cenderung mengundang polemik dan kerugian daripada memberikan asas manfaat kepada masyarakat Kota Bogor.
Salah satu perda yang dikeluhkan oleh masyarakat Kota Bogor adalah Perda No. 12/2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Poin yang menjadi keberatan masyarakat dan para pelaku sektor ekonomi di Kota Bogor adalah larangan pemajangan rokok di etalase. Larangan ini dipandang merugikan para penjual rokok karena menyebabkan omzet mereka menurun secara drastis.
Pengamat ekonomi STIE Kesatuan Syaifuddin Zuhdi memandang Perda KTR ini harus mempertimbangkan seluruh sektor, baik itu kesehatan maupun ekonomi.
Selain itu, Syaifuddin juga menekankan pentingnya revisi poin terkait larangan pemajangan rokok yang mengundang kritik dari berbagai pihak.
“Jika poin pelarangan ini tidak direvisi, maka dapat dikatakan Bima Arya tidak pro kepada kepentingan masyarakat Kota Bogor dan juga kepentingan nasional,” jelas Syaifuddin dalam keterangannya, Selasa (3/7/2018).
Syaifuddin juga meminta agar Bima Arya menyikapi polemik ini dengan bijaksana dan mendengarkan aspirasi dari masyarakat Kota Bogor. “Jangan sampai perda ini malah merugikan masyarakat dan juga sektor ekonomi Kota Bogor,” tambahnya.
Syaifuddin menjelaskan sebelumnya Pemkot Bogor pernah memiliki pengalaman pahit terkait dengan penerapan Perwali 4/2007 tentang Petunjuk Teknis Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang pernah digugat oleh masyarakat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Hal ini menunjukkan bahwa selain diskriminatif, Bima Arya juga dipandang inkonsisten sehingga kalah dalam gugatan di PTUN. Jangan sampai hal yang sama terjadi lagi karena sudah tentu masyarakat akan mempertanyakan kepemimpinan Bima Arya sebagai Walikota Bogor,” jelasnya.
Senada dengan hal tersebut, pengamat hukum tata negara, Margarito Kamis, berpendapat, “Beliau itu kurang memahami tata hierarki Peraturan Perundang-undangan sehingga berakibat banyak perda di Kota Bogor yang dibatalkan oleh Kemendagri.”
Dia memandang aturan ini sangat eksesif dan terkesan kebablasan karena sudah bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Seperti diketahui, dalam PP 109/2012, penjual tetap diperbolehkan untuk memajang produk rokok di lokasi penjualan.
“Bima Arya sebagai Walikota Bogor seharusnya paham bahwa dalam penyusunan perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi,” jelas Margarito.
Mengamini pendapat Syaifuddin dan Margarito, Wakil Ketua Bidang Hukum dan Advokasi Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Rudy Siregar, menekankan pentingnya pelibatan masyarakat dan pihak terkait lainnya seperti pengusaha dan pedagan ritel.
“Perda KTR Kota Bogor ini rawan digugat lagi oleh masyarakat sehingga untuk menghindari hal ini, Pemkot Bogor harus mendengarkan aspirasi masyarakat yang bisa disampaikan di dalam seminar dan selanjutnya dipublikasikan sehingga setiap pihak memiliki pemahaman yang sama terkait dengan Perda KTR ini,” pungkas Rudy.