Kabar24.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak dapat lagi berlindung dengan surat persetujuan Presiden apabila dipanggil sebagai saksi dalam proses pidana yang tidak terkait pelaksanaan tugas seorang wakil rakyat.
Ketentuan itu merupakan konsekuensi dari Putusan MK No. 16/PUU-XVI/2018 yang membuat norma baru atas Pasal 245 ayat (1) UU No. 2/2018 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 17/2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau UU MD3.
Sebelumnya, pasal tersebut berbunyi, ‘Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden, setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.’
MK lantas meniadakan peran Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dan mendefinisikan kembali proses apa yang memungkinkan wakil rakyat boleh dipanggil aparat penegak hukum. Kini bunyinya, ‘Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden.’
Dengan mengganti frasa ‘sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas’ menjadi frasa ‘yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksaan tugas’ maka berimplikasi penting bagi wakil rakyat. Sebelum diubah MK, Pasal 245 ayat (1) UU MD3 mencantumkan luasnya proses sistem pradilan pidana yang mengharuskan persetujuan Presiden.
“Bahkan untuk sekadar dipanggil dan dimintai keterangan sebagai saksi pun tetap diperlukan persetujuan tertulis dari Presiden,” kata Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna saat membacakan pertimbangan Putusan MK No. 16/PUU-XVI/2018 di Jakarta, Kamis (28/6/2018).
Dengan frasa baru ‘yang diduga melakukan tindak pidana’ maka persetujuan tertulis dari Presiden hanya berlaku bila sang wakil rakyat itu berpotensi menjadi tersangka dalam kasus yang tidak terkait dengan tugas dan wewenangnya.
Sebaliknya bila anggota DPR hanya dipanggil sebagai saksi, seperti dalam penyidikan atau pemeriksaan pengadilan, kasus-kasus yang tidak terkait dengan tugas dan kewenangan anggota parlemen.
“Jadi saksi tak perlu persetujuan Presiden. Misalnya kalau anggota DPR memukul orang perlu persetujuan Presiden, tapi kalau hanya saksi [pemukulan orang] tak usah,” kata Irmanputra Sidin, kuasa hukum pemohon uji materi UU MD3.
Putusan MK itu sebenarnya tidak sepenuhnya sesuai dengan petitum klien Irman. Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), selaku pemohon, awalnya meminta kata ‘tidak’ dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3 dihapuskan sehingga pemanggilan terhadap anggota DPR berkaitan dengan pelaksanaan tugas mereka.
Selain itu, FKHK juga tidak meminta peran MKD sebagai pemberi pertimbangan dihapuskan. Mereka hanya memohonkan agar MKD diberi batas waktu 30 hari untuk memberikan pertimbangan. Lewat dari tenggat, Presiden langsung memberikan persetujuannya.
Walaupun dalil inkonstitusionalitas Pasal 245 ayat (1) dikabulkan sebagian, MK menerima permintaan FKHK untuk menghapus dua pasal kontroversial dalam MKD yakni Pasal 73 ayat (3), (4), (5), (6), tentang mekanisme pemanggilan paksa setiap orang yang mangkir dari pemanggilan DPR dan Pasal 122 huruf l mengenai langkah hukum dari MKD terhadap penghina kehormatan anggota dan kelembagaan DPR.
“Ini sudah langkah konstitusional terbaik. Ini putusan yang harus kita terima demi konsistensi tugas DPR dan penegakan hukum,” ujar Irman.