Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OPINI: Utopia Pilkada Rasional

Salah satu persoalan dasar memilih pemimpin di Pilkada adalah karena proses pemilihan yang seharusnya didasarkan pada keputusan-keputusan rasional senyatanya selalu didominasi oleh keputusan yang emosional.
Gedung Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia di Jakarta./Bisnis.com-Samdysara Saragih
Gedung Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia di Jakarta./Bisnis.com-Samdysara Saragih

Bisnis.com, Pada 27 Juni esok, 171 daerah akan menyelenggarakan Pilkada secara serentak. Sejumlah 556 kontestan berebut untuk duduk di kursi gubernur, bupati, dan walikota.

Berbagai manuver politik sudah digerakkan melalui berbagai macam media. Apakah dalam proses itu masyarakat akan mendapatkan pendidikan politik yang cerdas atau kembali sekadar menjadi batu lompatan bagi para kontestan untuk meraih kekuasaan?

Kita berharap bahwa pemenang yang sesungguhnya adalah adalah masyarakat. Mereka harus mendapatkan pemimpin yang bekerja total demi kesejahteraan masyarakat. Namun dalam proses politik selalu saja ‘yang seharusnya’ terlalu jauh dari ‘yang senyatanya’. Salah satu persoalan dasarnya adalah karena proses pemilihan yang seharusnya didasarkan pada keputusan-keputusan rasional senyatanya selalu didominasi oleh keputusan yang emosional.

Setidaknya ada tiga contoh kasus yang tampak mengejutkan, tetapi dilihat dari sudut proses pengambilan keputusan sesungguhnya mudah dipahami. Ketiga contoh itu adalah adalah kemenangan Anies Baswedan—Sandiaga Uno melawan Basuki Tjahaya Purnama–Djarot Saiful Hidayat dalam pemilihan gubernur DKI, kemenangan Presiden Donald Trump melawan Hilary Clinton, kemenangan Brexit di Inggris melawan mereka yang ingin tetap bergabung dengan Uni Eropa.

Yang terakhir memang bukan soal memilih tokoh, tapi tetap proses politik dimana publik dituntut mengambil keputusan politik dengan pertimbangan yang setara.

Ketiga kemenangan itu menunjukkan bahwa seluruh pendekatan rasional saja tidak cukup untuk memahami proses pengambilan keputusan para pemilih.

Di Jakarta tingkat elektabilitas petahana bisa jauh di bahwa tingkat kepuasan publik terhadap kinerjanya. Di Inggris dan Amerika berbagai jajak pendapat sama sekali tidak mengunggulkan Brexit maupun Trump. Namun ternyata Brexit dan Trump.

Irasionalitas proses pencoblosan di kedua negara semakin ditegaskan oleh hasil survei lama sesudahnya yang mengatakan banyak pemilih yang menyesali pilihan mereka. Dan ternyata keduanya menyewa konsultan yang sama: Cambridge Analytica.

Sulit untuk mengatakan bahwa ketiga kemenangan itu terjadi karena faktor kebetulan. Lebih mudah dipahami bahwa kemenangan itu adalah buah dari strategi politik yang menggunakan berbagai sumber daya, termasuk ilmu dan teknologi mutakir.

Ilmu yang banyak memberikan sumbangan adalah neuroscience dalam bidang pengambilan keputusan dan perilaku. Adapun teknologi yang banyak digunakan adalah data-science dan media sosial.

Terkait dengan tinjauan neuroscience terhadap perilaku, Daniel Kahneman bersama Amos Tvresky menulis buku berjudul Thinking Fast and Slow. Sementara Richard Thaler bersama Cass R. Sunstein menulis buku dengan pendekatan yang sama berjudul Nudge. Kahneman dan Thaler menyatakan bahwa pada dasarnya cara kerja otak dapat dibagi ke dalam dua mode dasar.

Pertama, disebut sebagai ‘sistem 1’ adalah proses kerja otak yang dikelola oleh otak emosional (limbic system dan basal ganglia). Kedua, atau sistem 2 adalah proses berpikir yang dikendalikan oleh bagian otak logis, dikelola oleh prefrontal cortex (PFC).

Sistem 1 bekerja secara otomatis, cepat, reaktif, bawah sadar, asosiatif dan refleksif. Sebaliknya, sistem 2 bersifat goal driven, lebih lamban, proaktif, sadar, deduktif dan refleksif. Sistem 1 membutuhkan lebih sedikit energi untuk bekerja.

Dominasi Sistem 1

Sebagian besar pilihan, keputusan, sikap, dan perilaku sesungguhnya digerakkan oleh sistem 1. Bukan sistem 2. Karena sifat sistem 1 yang otomatis, refleksif, asosiatif, bawah sadar dan cepat, otak dan pikiran manusia akan dimudahkan, khususnya dalam menghadapi persoalan hidup yang terus berulang.

Justru karena semua alasan inilah secara instingtif manusia selalu memanfaatkan sistem 1 untuk memuluskan dorongan evolustifnya. Begitu mendapatkan rangsang dari luar, orang akan langsung menggunakan sistem 1, atau otak instingtifnya, yang mudah dan murah, untuk mendeteksi dan menghadapi ancaman, mempertahankan diri, berkelompok, berlindung, berburu, mengakumulasi kekuatan secara efektif dan efisien.

Jadi, tegasnya, proses pengambilan keputusan manusia sejatinya adalah proses emosional. Orang mengambil keputusan berdasarkan suka atau tidak suka, atau berdasarkan naluri survival-nya. Instingnya sudah sedemikian terlatih untuk memilah mana yang mengancam mana yang tidak, apakah saya aman nyaman dalam kelompok saya, bagaimana jaminan hidup saya, apa keuntungan bagi saya, saya akan jadi seperti apa, dan sebagainya.

Orang umumnya tidak mengaku bahwa keputusannya adalah keputusan emosional karena merasa punya alasan yang cukup untuk keputusan itu. Padahal alasan dibangun sesudah dan untuk membenarkan keputusan yang diambil. Itu sebabnya keputusan yang paling aneh sekalipun tetap mempunyai ‘argumen’ pembenar.

Kecenderungan inilah yang banyak dimanipulasi oleh para pemasar, termasuk pemasar politik. Mereka banyak mengeksploitasi sisi emosi dan insting survival. Lihat saja misalnya teriakan soal bahaya tenaga kerja asing, kolonialisme baru, dan teori konspirasi (threat).

Teriakan ‘kalau tidak bersama kami, kamu bagian dari mereka’ (tribalism, bias kelompok). ‘Kita bangsa yang besar, dulu kita Sriwijaya, dulu kita Majapahit’. Seolah semua itu anugerah. ‘Kalau saya yang menjabat, semua persoalan akan beres’ (ego, power). Di Amerika Trump memakai slogan, “to make America great again”. Sedang di Inggris pro-Brexit berteriak, “Take back control.”

Etika Kampanye

Strategi kampanye dengan mengeksploitasi cara berpikir sistem satu pemilih sah-sah saja. Yang menjadi masalah adalah jika eksploitasi Sistem 1 itu dilakukan secara manipulatif. Jadi problem etikanya bukan pada eksploitasi Sistem 1 tetapi pada sisi manipulatifnya.

Manipulasi yang paling umum adalah mengarang cerita tanpa data, atau mengarang cerita dengan data yang sudah dimanipulasi. Yang paling mudah dikritisi adalah setiap label kata sifat seorang calon yang ditempelkan oleh calon atau pendukung calon lainnya. Sebut saja misalnya label antek asing, kafir, kapitalis atau neokapitalis, komunis, kaum radikal, megalomania, dan sebagainya. Dengan teknik narasi tertentu, semua label itu bisa dengan mudah dibeli oleh publik.

Kelompok masyarakat tertentu yang cukup kritis akan segera mengaktifkan Sistem 2 dengan bertanya, benarkah calon ini komunis, kafir, atau radikal? Apakah ada data yang mendukung label itu? Jika ada datanya, apakah data itu cukup bisa dipercaya?

Namun berapa banyak masyarakat yang mau mengaktifkan Sistem 2 jika semua ‘saraf survival-nya’ sudah dimanipulasi dari segala penjuru, dengan narasi yang super lengkap? Kaum terpelajar pun, jika sudah termanipulasi, bisa dan justru ikut memberi argumen atas label-label itu. Semua itu kemudian akan menggelinding seperti bola salju.

Di sinilah sebenarnya parpol dan kontestan pemilu dan Pilkada bertanggung jawab untuk mendidik masyarakat untuk lebih rasional. Mungkinkah? Ketika nafsu berkuasa sudah menggunung dan modal besar sudah digelontorkan, etika kampanye bisa menjadi barang yang terlalu mewah bagi mereka.

Karena itu tampaknya tumpuan terakhir tinggal pada KPU dan Bawaslu, sejauh mereka punya nafas untuk meniup peluit.

*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Selasa (26/6/2018)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper