Bisnis.com, JAKARTA - Perjuangan yang dilakukan keluarga korban pelanggaran HAM yang selama ini bagai sebuah nyanyian sunyi di tengah hiruk pikuk Jakarta mendapat respons Istana.
Setelah 11 tahun menjaga memori dan menolak lupa, keluarga korban pelanggaran HAM berat di masa lalu mendapat kesempatan bertemu Presiden.
Sejumlah keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di masa lalu itu pun berjalan menuju Istana Negara, Jakarta, Kamis (31/5/2018) untuk menemui Presiden Joko Widodo.
Setelah 11 tahun menggelar aksi damai "Kamisan" di depan Istana, berjuang agar tak terisap dalam memori pendek bangsa dan dengan berbagai dinamikanya, mereka akhirnya diterima Presiden Republik Indonesia.
Berikut sejumlah foto mereka yang diabadikan reporter Yodie Hardiyan.
Baca Juga
Puluhan orang yang merupakan keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di masa lalu diterima Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Kamis (31/5/2018).
Selama sekitar 11 tahun, mereka menggelar demonstrasi menuntut keadilan di seberang Istana Merdeka. Baru kali ini mereka diterima oleh Presiden RI. Dalam kesempatan siang ini, sejumlah orang membawa foto korban pelanggaran HAM berat dan poster yang berisi daftar pelanggaran HAM.
Salah satu keluarga korban, Maria Catarina Sumarsih, berharap Presiden Joko Widodo menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. "Dan menghapus impunitas dengan menugaskan Jaksa Agung untuk menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM," kata ibu dari salah satu korban tragedi Semanggi I itu sebelum masuk ke Istana Kepresidenan.
Sampai berita ini selesai ditulis, para keluarga korban pelanggaran HAM masih berada di dalam Istana Kepresidenan setelah masuk sekitar pukul 14.30.
Aksi Diam
Dikutip dari Wikipedia, aksi Kamisan merupakan aksi diam korban dan keluarga korban berbagai kasus mulai era tahun 1965. Setiap Kamis mereka berdiri di depan istana, memegang payung hitam, dan membawa berbagai pesan untuk disampaikan kepada Presiden.
Aksi diam mereka diabadikan dalam sebuah film dokumenter berjudul Payung Hitam karya sutradara Chairun Nissa.
Film dokumenter itu berkisah tentang perjuangan mencari keadilan dua orang perempuan, Neneng dan Sumarsih, yang bertemu dalam aksi Kamisan. Kamisan merupakan aksi diam korban dan keluarga korban berbagai kasus mulai era tahun 1965. Setiap Kamis mereka berdiri di depan istana, memegang payung hitam, dan membawa berbagai pesan untuk disampaikan kepada Presiden.
Neneng adalah petani dan ibu rumah tangga yang tanah miliknya, seluas seribu hektare, diambil secara paksa oleh Angkatan Udara pada tahun 2007. Sedangkan Sumarsih adalah seorang perempuan pensiunan pegawai DPR yang anaknya (bernama Wawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya, Jakarta) menjadi korban penembakan pada era reformasi. Keduanya mencari keadilan untuk kasus mereka masing-masing.
Sejak 18 Januari 2007
Laman http://www.dianparamita.com/blog/kamisan menyebutkan bahwa Kamisan adalah aksi damai sejak 18 Januari 2007 dari para korban maupun keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia.
"Mereka adalah korban '65, korban Tragedi Trisakti dan Semanggi '98, korban tragedi Rumpin, dan korban pelanggaran HAM lainnya. Setiap Hari Kamis Pukul 16.00 hingga 17.00 di depan Istana Presiden, mereka berdiri, diam, berpakaian hitam, dan berpayung hitam bertuliskan berbagai kasus pelanggaran HAM. Mereka juga mengirimkan surat kepada presiden, menggelar spanduk, foto korban, dan membagikan selebaran untuk para pengguna jalan," tulis laman ini.
Warna hitam dipilih sebagai lambang keteguhan duka cita mereka yang berubah menjadi cinta kasih kepada korban dan sesama. Payung merupakan lambang perlindungan, dan Istana Presiden sebagai lambang kekuasaan. Mereka meyakini, ketika hak hidup keluarga tidak mendapat perlindungan dari negara, Tuhan akan melindunginya.