Bisnis.com, JAKARTA – Hari ini, 20 tahun lalu, Indonesia mencatat sejarah berakhirnya kepemimpinan Presiden Soeharto setelah 32 tahun berkuasa.
Dalam pernyataannya, seperti dilaporkan televisi pada 20 tahun lalu, Presiden Soeharto menyatakan sejumlah upaya untuk memperbaiki keadaan telah dilakukan tapi dia tak mendapat respons yang memadai hingga akhirnya memutuskan untuk mundur.
Presiden Soeharto juga menyatakan menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada BJ Habibie, yang saat itu menjadi Wakil Presiden.
Hari itu, Kamis, 21 Mei 1998 sekitar pukul 09.00, Presiden Soeharto menyampaikan pernyataan pengunduran dirinya.
Presiden ke-2 RI Soeharto didampingi Wakil Presiden BJ Habibie menyatakan mundur dari jabatannya di istana Negara, Jakarta
Baca Juga
Assalamual’aikum warahmatullahi wabarakatuh Sejak beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut, dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi tersebut perlu dilaksanakan secara tertib, damai dan konstitusional demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional, saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII.
Namun demikian, kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut.
Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara yang sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.
Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945, dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, kamis 21 Mei 1998.
Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia, saya sampaikan di hadapan Saudara-saudara pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang juga adalah pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Sesuai dengan Pasal 8 UUD ’45, maka Wakil Presiden Republik Indonesia Prof. H. BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden Mandataris MPR 1998-2003. Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin negara dan bangsa Indonesia ini, saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangannya. Semoga Bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 45-nya.
Mulai ini hari Kabinet Pembangunan ke VII demisioner dan pada para menteri saya ucapkan terima kasih. Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat, maka untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya Saudara Wakil Presiden sekarang juga agar melaksanakan pengucapan sumpah jabatan presiden di hadapan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Preside Soeharto menyampaikan pidato singkat itu hanya sekitr 10 menit, dalam suasana yang bahkan dari layar televisi pun tampak mencekam. Pidato itu menjadi penanda berakhirnya pemerintahan Orde Baru.
Sarwono dan Cabut Gigi
Apa yang terjadi di Istana pada 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB adalah klimaks dari berbagai peristiwa yang terjadi sebelumnya.
Kasus penembakan Mahasiswa Trisakti, penjarahan yang marak di mana-mana, kondisi ekonomi yang serba tertekan, serta wacana reshuffle kabinet yang tak direspons banyak pihak merupakan serial kejadian yang mendorong Presiden untuk mundur.
Dari berbagai situasi itu, wawancara Sarwono Kusumaatmaja di SCTV pada acara Liputan 6 Siang, Minggu 17 Mei 1998 menjadi penanda awal keberanian kalangan elite politik berbicara terbuka bahwa pemerintahan sudah tak dapat dipertahankan lagi.
Demo mahasiswa pasca tragedi Trisakti di jakarta, Mei 1998./Bisnis
Dalam situasi publik yang marah dan kecewa akibat penembakan mahasiswa Trisaksi, penjarahan, kematian sejumlah orang yang terbakar saat melakukan penjarahan, Sarwono diwawancarai Ira Koesno.
Akun liputan6.com yang mengunggah video wawancara Ira Koesno dengan Sarwono, dalam pengantarnya menyebutkan bahwa saat itu Sarwono mengenakan blazer cokelat muda dan polo shirt biru tua.
Di lengan kiri Sarwono terlilit pita hitam, apalagi kalau bukan tanda berkabung.
Ira Koesno pun mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar ide reshuffle kabinet. Sarwono, mengatakan reshuffle tak akan mengubah keadaan. Ira tetap berusaha mengarahkan ke soal reshuffle, Sarwono tetap tak terpancing.
Buat dia, reshuffle adalah penyelesaian politik, sementara sekarang dibutuhkan penyelesaian moral. Akhirnya, setelah dua menit, Sarwono bilang “Kayaknya saya juga gak boleh terus terang….kita pakai analogi gigi…reshuffle itu tambal gigi. sedangkan kita ini perlu cabut gigi, supaya gigi baru bisa tumbuh. Jadi reformasi itu hanya bisa dilakukan dengan kalo kita mengambil tindakan moral, mencabut gigi itu…”
Empat hari setelah penayangan wawancara, Soeharto mengundurkan diri. Publik mengakui, wawancara itu berdampak besar: mendorong opini bahwa pergantian kepemimpinan nasional memang tak terhindarkan.
Cak Nun dan Patheken
Kalimat “cabut gigi” yang disampaikan Sarwono, konon sebelum diwawancara Liputan6 Sarwono memang sudah dari dokter gigi, menjadi awal penanda bahwa pemerintahan Presiden Soeharto tak bisa diselamatkan lagi.
Di balik itu tentu banyak kejadian, pergerakan, dan berbagai upaya antara kelompok yang menginginkan pemerintahan bertahan, juga tak sedikit pihak yang menginginkan pemerintahan segera berakhir. Di tengah dua kubu itu, juga sangat masuk akal jika muncul kelompok yang disebut “brutus” yang hanya berupaya agar dirinya selamat dan terus bertahan.
Hal yang tak kalah seriusnya adalah pertanyaan, bagaimana bisa Presiden Soeharto akhirnya rela meninggalkan kursi kekuasaannya? Padahal, kalau mau, bisa saja ia mengerahkan pasukannya yang loyal untuk menyelesaikan semua persoalan dengan senjata. Walau pun itu berarti akan terjadi pertumpahan darah yang mengerikan.
Rupanya, selain di jalanan gelombang aksi unjuk rasa mahasiswa dan berbagai kalangan kian tak terbendung, di tingkat elite pun muncul dorongan agar Presiden Soeharto meletakkan jabatannya, ada pula kelompok yang mengupayakan agar pemerintahan berakhir tanpa menimbulkan ontran-ontran atau kekacauan yang sudah di depan mata.
Budayawan Emha Ainun Nadjib, yang dikenal dengan sapaan Cak Nun, mencatat hari-hari menjelang hingga saatnya Presiden Soeharto menyatakan mundur.
Seperti dikutip dari www.caknun.com, disebutkan bahwa pada rentang 12 sampai 15 Mei 1998 Cak Nun berada di tengah penembakan, kerusuhan dan penjarahan Reformasi.
Terkait penembakan di Trisakti dan kesediaan Presiden Soeharto untuk lengser, laman caknun.com menuliskan sbb:
Siapa pelaku penembakan di Trisakti?
Satuan apa saja yang menculik dan aktivis siapa saja yang diculik?
Apa yang Suharto takut dan ngeri?
Bagaimana kronologi sehingga Suharto legowo untuk lengser?
Siapa yang mengetuk hatinya dan membimbingnya turun tahta?
Siapa yang Suharto taati menjadi Imam-nya?
Siapa yang membuatnya aman dan tak tersentuh hingga akhir hayatnya?
“Hampir semua pihak menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan prasangka, kebodohan, kemunafikan dan ambisi untuk menjadi seribu Suharto sebagaimana yang mereka prasangkakan,” tulis laman ini.
Laman caknun.com juga menyebutkan apa yang terjadi pada beberapa hari sebelum Presiden Soeharto lengser. Disebutkan empat hari, yakni pada 16 sampai 19 Mei 1998 yang mewarnai hari-hari sebelum lengsernya Presiden Soeharto. Berikut uraiannya:
- 16 malam, Cak Nun bersama Cak Nur [Nurcholis Madjid], Pak Malik Fajar, Mas Oetomo Dananjaya dan Mas Drajat merumuskan empat prosedur lengsernya Pak Harto dengan meminimalisir korban dan memaksimalkan efektivitas kenegaraan.”
- 17 siang. Konferensi Pers di Hotel Wisata mengungkap usulan agar Pak Harto mundur. Cak Nun membaca An-Nur 35, hadirin menangis.”
- 18. Usulan diajukan melalui Mensekneg Saadillah Mursyid. Pak Harto setuju, tapi minta ditemani. Jam 20.00 Pak Harto telpon Cak Nun dan Cak Nur, “Mohon kita ketemu besok untuk menyiapkan agar lengsernya saya tidak menimbulkan guncangan dan korban”.
- 19 pagi. Mereka bertemu di Istana Negara. Cak Nun pinjam sepatu Pak Bariman, sekarang Guru SMA Muhammadiyah Denpasar.Pak Harto minta 4 orang dilengkapi menjadi 9 orang dari para sesepuh, termasuk KH Ali Yafi dan Gus Dur. Cak Nun dan Cak Nur meneguhkan saran agar Pak Harto turun dari jabatan Presiden. Pak Harto tertawa lebar ketika Cak Nun berempati dengan mengemukakan, “Pak Harto tidak jadi Presiden kan ora pathèken. Wong sudah 32 tahun menjabat.” Cak Nur menambah: “Bukan hanya ora pethèken, tapi sudah tuwuk”. Itu bahasa Jombang untuk “sangat puas sampai hampir bosan”.
Patheken atau patek adalah penyakit kulit yang juga dikenal dengan frambusia. Menurut kamus frambusia adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh bakteri yang penularannya melalui kontak langsung.
Patek atau frambusian ini juga dikenal dengan istilah puru
Tentu saja, lengsernya Presiden Soeharto bukan karena perkara cabut gigi atau patheken, banyak proses yang hingga saat ini tidak terungkap seluruhnya ke hadapan publik. Itu sebab, laman caknun.com memberi sinyalemen berikut, “Yang diketahui oleh para wartawan, dunia pers serta kaum penggali dan penyebaran informasi — sehingga sekadar demikian juga yang diketahui oleh publik Indonesia dan dunia — tentang Reformasi 1998 adalah peristiwa pukul 09.00 pagi di Istana Negara ketika Pak Harto mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan Presiden.”
Lebih jauh disebutkan, “Ibarat pernikahan, peristiwa itu hanyalah resepsi. Bukan negosiasi dan prosesi akad nikahnya. Betapa awam dan malangnya dunia jurnalistik dan masyarakat yang mempercayainya.”
Situasi yang sesungguhnya niscaya lebih dari apa yang diketahui publik. Sebagai misal, laman caknun.com menyebutkan momen krusial pada 19 Mei 1998 berikut ini.
“19 Mei 1998 pagi itu, kalau Pak Harto pingsan di tengah pertemuannya dengan 9 orang, atau terdiam lebih satu menit, atau memberi kode pengambilalihan kekuasaan, maka bom meledak. Di sekitar area Istana Negara, 16 bom diletakkan di 8 titik Jalan Tol dan 8 Pom Bensin. Pertemuan itu dimonitor di layar di dalam sebuah Tank, dengan seorang pemegang remote dan seorang lainnya pemegang komandonya. Karena mereka tidak tahu persis apa yang terjadi hari-hari itu dengan Pak Harto dan pergolakan jantung kekuasaan NKRI.”
Lantas mengapa bom tak meledak? Kita bisa membayangkan betapa para tokoh itu berusaha membicarakan situasi yang genting itu dengan cara setenang mungkin. Kita tidak tahu berapa kali mereka berbicara dengan nada suara tinggi, atau adakah senyuman dan tawa yang terpaksa atau barangkali yang lepas tiba-tiba dalam kegentingan itu.
Satu hal yang pasti bom tidak pernah meledak.
“Pak Harto tertawa-tawa menghayati ora dadi Presiden ora pathèken,” tulis laman caknun.com.
Kini, setelah 20 tahun lengsernya Presiden Soeharto, kita dapat bersama-sama merekonstruksi banyak hal di masa lalu, misalnya apa yang terjadi jika Presiden Soeharto adalah kita.