Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Eskalasi Terorisme, Pendekatan Deradikalisasi vs Humanisasi

Munculnya ISIS telah mendorong Pemerintah Indonesia berfokus pada program-program deradikalisasi melalui kampanye di media sosial. Namun, hanya segelintir ide baru yang telah dilakukan. Seharusnya pemerintah melirik ide program humanisasi sebagai alternatif penggganti atau pelengkap
Polisi menghentikan dan memeriksa warga yang melintas di Jalan Niaga Samping setelah terjadi ledakan di Polrestabes Surabaya, Jawa Timur, Senin (14/5). Ledakan terjadi pada Senin (14/5) pagi di depan pos penjagaan pintu masuk Polrestabes Surabaya./Antara
Polisi menghentikan dan memeriksa warga yang melintas di Jalan Niaga Samping setelah terjadi ledakan di Polrestabes Surabaya, Jawa Timur, Senin (14/5). Ledakan terjadi pada Senin (14/5) pagi di depan pos penjagaan pintu masuk Polrestabes Surabaya./Antara

Bisnis.com, JAKARTA—Serangan terorisme di Indonesia yang makin meluas ke berbagai wilayah sungguh mengejutkan.

Dimulai dengan serangan dan perampasan senjata polisi oleh narapidana teroris di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok pada 8—10 Mei 2018. Kemudian berlanjut pada serangkaian serangan beruntun lainnya di berbagai wilayah yang membuat pemerintah tampak kehilangan kendali.

Pada 13 Mei terjadi serangan di tiga gereja di Surabaya dan satu lagi di Sidoarjo dan serangan berulang pada 14 Mei di Mapolresta Surabaya sehingga menyebarkan ketakutan yang sangat mencekam.

Semua pelakunya melakukan serangan dengan melibatkan keluarga batih, termasuk anak-anak mereka yang masih balita. Terus berulangnya aksi teror bukan semata lemahnya UU Terorisme, melainkan juga harus dilihat sebagai gagalnya deradikalisasi terhadap mantan narapidana teroris. Program deradikalisasi yang mengandalkan pada perubahan ideologi tidak lagi dianggap efektif mengatasi radikalisme dan terorisme. Pemerintah Indonesia melakukan deradikalisasi sebagai salah satu cara lunak (soft-approach) mengatasi terorisme pasca-bom Bali 2002.

Namun, program ini tidak berjalan dengan baik. Metode ini juga tak berhasil diterapkan kepada mereka yang sudah terpengaruh paham radikal, bahkan jauh hari sebelum ideologi takfiri masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya ISIS (Islamic State of Iraq and Syria).

Sidney Jones (2015) menyebutkan empat alasan lemahnya program deradikalisasi di Indonesia. Pertama, meski gagasan bahwa mantan radikal punya kredibilitas untuk mempengaruhi kaum radikal lainnya masuk akal, upaya ini sangat terbatas keberhasilannya.

Kedua, program rehabilitasi yang didanai pemerintah untuk menangani para jihadis yang sudah bebas terbukti gagal. Mereka tidak memiliki keterampilan dan akhirnya kembali ke lingkaran militan semula.

Ketiga, kurangnya anggaran resmi sehingga polisi gagal memenuhi janji-janji bantuan kepada kelompok radikal. Akibatnya, teroris kecewa dan tidak lagi tertarik memberikan informasi. Keempat, sistem penjara Indonesia yang korup.

Mereka justru menjadikannya sebagai tempat perekrutan dan central-command yang terhubung dengan radikal lainnya. Lemahnya pengetahuan ilmiah tentang terorisme dan radikalisme di kalangan akademisi juga menjadi alasan gagalnya deradikalisasi.

Pengetahuan tentang radikalisme dan terorisme yang berdasarkan hasil penelitian ideologi dan gerakan sangat dibutuhkan untuk mematahkan pahampaham radikal yang salah. Rumusan program deradikalisasi yang prematur berasal dari paradigma dan teori yang juga salah.

Kaum akademisi seharusnya ikut mengembangkan pandangan yang tidak konvensional tentang radikalisme. Kunci dalam mengembangkan program-program tersebut agar lebih efektif adalah lewat penelitian yang mendalam, misalnya ethnography of terrorism.

Etnografi terorisme ini berisi wawancara dan analisis data biografi dan merupakan kunci dalam perumusan program kontra terorisme yang efektif.

Munculnya ISIS telah mendorong Pemerintah Indonesia berfokus pada program-program deradikalisasi melalui kampanye di media sosial. Namun, hanya segelintir ide baru yang telah dilakukan.

Deradikalisasi vs Humanisasi

Seharusnya pemerintah melirik ide program humanisasi sebagai alternatif penggganti atau pelengkap. Salah satu kegiatan humanisasi adalah pendidikan humaniora, baik formal maupun informal agar teroris mengenal manusia lainnya.

Para teroris juga manusia yang akan berubah pemikirannya jika diberi pendidikan dan pengenalan pada komunitas yang lebih plural dan multikultur.

Ini akan melahirkan refleksi tersembunyi yang akan mengubah ideologi kaum teroris. Indikator berhasilnya deradikalisasi adalah ketika para mantan teroris berpikir secara reflektif tentang: “what does it mean to be human.” Manusia yang baik biasanya tidak membunuh manusia lainnya. Humanisasi adalah kesediaan mengakui kemanusiaan lawan. Humanisasi dapat membantu menghapus stereotip tentang seseorang atau kelompok manusia yang dianggap jahat.

Humanisasi dapat membantu mengikis konflik atau membatasi eskalasi, serta mengurangi kemungkinan kekerasan massal atau genosida.

Menyadari kemanusiaan pihak lawan, misalnya, dapat membuka jalan bagi sikap saling menghormati, saling percaya, dan saling menjaga keamanan bersama (Morton Deutsch, "Justice and Conflict," 2000).

Humanisasi juga dapat membuka jalan bagi relasi timbal balik pihak-pihak yang bermusuhan seraya membangun keyakinan dengan melakukan kesetaraan sesama manusia, menciptakan norma-norma bersama guna membatasi konflik.

Narapidana dalam kasus terorisme umumnya juga memiliki kebencian untuk dilihat oleh kelompok atau pihak yang berbeda dari mereka. Oleh karena itu, pengenalan budaya dan kelompok yang berbeda juga menjadi penting bagi mereka.

Humanisasi dapat dilakukan melalui dialog intensif dan pengenalan budaya atau kelompok yang berbeda dari mereka (teroris).

Kekerasan hanya bisa dihadapi dengan kelembutan. Salah satu program humanisasi adalah mengajarkan para narapidana terorisme untuk berdialog dengan para ulama dan elemen-elemen masyarakat, pelatihan untuk membuat berbagai hal, memasuki pemahaman baru melalui film, atau membawa para pelaku teror kepada para korban terorisme.

Ini salah satu cara untuk menyentuh hati mereka, dan membuat mereka sadar bahwa tindakan mereka telah menyebabkan penderitaan bagi orang lain.

Dalam hal ini, untuk mencegah penyebaran pemahaman radikal di penjara, harus dilakukan sesegera mungkin segregasi narapidana terorisme dengan narapidana lain.

Menurut pendapat kami, narapidana kasus terorisme juga harus diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu narapidana ideolog, narapidana radikal, dan narapidana simpatisan.

Narapidana terorisme ideolog, misalnya, harus ditempatkan dalam sel terpisah, dan pengawasan yang maksimal. Para tahanan kategori pengikut radikal atau militan ditempatkan di sel khusus untuk pembinaan.

Narapidana simpatisan bisa ditempatkan di sel yang sama dengan tahanan umum dengan tindakan pencegahan khusus.

Dengan cara ini, diharapkan setelah mereka bebas dari penjara, terpidana teroris tidak lagi kembali ke perilaku lama dan hubungan yang menjerumuskan mereka ke dalam lingkungan kekerasan: dunia teror.

Dalam program humanisasi ini, tidak semua metode bekerja karena keberhasilan metode ini juga tergantung pada kecenderungan setiap orang (teroris).

Saat ini ratusan narapidana terorisme telah bebas dan dilepaskan ke masyarakat. Namun, sisa pengaruh ideologi transnasional Wahabi Takfiri masih menggelayuti akal budi mereka.

Mereka perlu dipantau perkembangannya dengan pendekatan humanis.

Pemerintah dan masyarakat harus membantu dan memberdayakannya secara sosial-ekonomi, sehingga mereka dapat menjadi berguna dan berarti bagi keluarga dan masyarakat.

Dan akhirnya, menemukan kembali Islam untuk rahmat bagi alam semesta atau Islam yang memberikan nuansa rahmatan lil 'alamin.

*) Penulis adalah Pengamat Terorisme/Dosen Program Studi Antropologi, Universitas Malikussaleh, Aceh

**) Artikel dimuat di koran Bisnis Indonesia edisi Selasa (15/5/2018)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Al Chaidar*
Editor : Sutarno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper