Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Teroris Memfitnah Nabi

Saya tak menduga pada satu pagi pekan ini rencana sarapan pagi sambil santai menikmati nasi goreng di satu sudut Pasar Tanah Abang Jakarta berubah menjadi perbincangan serius.
Sejumlah sepeda motor terbakar sesaat setelah terjadi ledakan di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5/2018). Dua ledakan juga terjadi di Surabaya yakni di Gereja Kristen Indonesia (GKI) dan Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, pada waktu yang hampir bersamaan./Antara
Sejumlah sepeda motor terbakar sesaat setelah terjadi ledakan di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5/2018). Dua ledakan juga terjadi di Surabaya yakni di Gereja Kristen Indonesia (GKI) dan Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, pada waktu yang hampir bersamaan./Antara

Bisnis.com, JAKARTA – Saya tak menduga pada satu pagi pekan ini rencana sarapan pagi sambil santai menikmati nasi goreng di satu sudut Pasar Tanah Abang Jakarta berubah menjadi perbincangan serius.

Gara-garanya saat sarapan, serombongan pengguna sepeda motor dengan atribut tertentu melintas dan seakan-akan berhak menyingkirkan pengguna jalan lainnya demi melapangkan laju kendaraan kelompoknya sendiri.

Seorang lelaki berusia 40-an tahun yang sama-sama duduk di warung sederhana di dekat toko penjual bahan kain menggumam melayangkan protes. Saya pun meresponsnya, sekadar membiarkan dia tak merasa sendirian berkomunikasi.

Namun, respons saya ternyata berkepanjangan memasuki area pembahasan yang sebenarnya tak begitu nyaman buat saya. Soal teroris. Wah, mendengar ceritanya saja sudah seram dan terbayang kejadian di kawasan Jalan M. H. Thamrin awal 2016 lalu dan terulang di Surabaya, di tiga gereja, pada Minggu (13/5/2018), tapi kini malah diajak ngobrol soal serupa.

Dia bercerita Rasulullah Muhammad SAW itu penuh kasih sayang, tapi mengapa banyak orang yang menangkap kesan beliau sebagai eksekutor kejam dan itulah yang ditiru teroris.

“Nabi tanpa sengaja mencabut seonggok rumput saja sudah merasa bersalah,” katanya. Saya menatapnya saja, karena pemahaman saya yang rendah soal agama.

Nabi, ucapnya, hampir setiap sore memberi makan seorang Yahudi tua tunanetra di salah satu sudut pasar, padahal nyaris setiap saat si Yahudi itu mencaci-maki Nabi.

Hingga saat Rasulullah wafat dan khalifah Abu Bakar mencoba menggantikan peran itu, tapi langsung si Yahudi tahu bahwa pemberinya makan bukan yang biasa, karena Abu Bakar tak menghaluskan dulu makanan yang hendak disuapkannya kepada si Yahudi.

Lagi-lagi, saya hanya menatap, kali ini sambil kutambahi dengan anggukan kecil seakan nyambung dengan ceritanya.

Rasulullah, katanya lagi, hampir setiap kali melewati jalan tertentu dicemooh seorang kafir. Tapi, suatu saat Nabi lewat di jalan itu dan tak ada si lelaki, beliau pun bertanya kepada warga di sekitarnya dan diketahuilah lelaki tadi sakit. Setelah tahu lokasi rumah si lelaki muda tadi, Nabi pun membesuknya.

Lagi-lagi, saya hanya menatap, tapi kali dengan lebih serius. Saya takjub mendapat kisah ini.

“Tahu nggak, salah satu pembantu Nabi itu orang Yahudi?” kata si lelaki itu melihat saya makin serius menandangnya. Saya pun menggeleng ragu, takut ketahuan ilmu saya dangkal.

“Tahu juga nggak? Waktu Nabi mengajak penduduk Thaif masuk Islam, beliau dilempari batu? Lalu saat malaikat minta izin Nabi untuk membalasnya, Nabi menolak membalasnya dengan alasan warga Thaif melakukan itu karena mereka belum tahu Islam. Maka itu, Nabi justru mendoakan kebaikan bagi mereka.”­

“Lha, kalau begitu, mengapa faham yang berkembang bahwa Islam itu begitu keras dan agresif?” akhirnya tak tahan juga saya bertanya.

“Itulah, ada yang salah dalam memberi pemahaman tentang Islam. Mengapa yang ditonjolkan bukan sifat kasih sayang Islam sebagai rahmat untuk seluruh alam dan malah memberi kesan agama ini kejam? Padahal saat menutup salat selalu mendoakan keselamatan dan kasih sayang untuk yang ada di kanan dan kiri kita, siapa pun,” dia makin semangat.

Dia bahkan menuliskan satu ayat Alquran untuk saya yang awam. “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (QS al-Mumtahanah : 8).”

Jadi? “Seharusnya tak ada teroris mengatasnamakan agama. Kecuali kalau Islam diperangi secara terbuka dan kita diusir,” jelasnya lagi. Aku terdiam, takut keliru bisa merespons.

“Kalau teroris itu terus mengatasnamakan Islam padahal nereka bertindak kasar, itu sama saja dengan memfitnah Nabi, karena Nabi sangat lemah lembut!” nada bicaranya meninggi dan sungguh, tiba di titik ini benar-benar khawatir salah merespons dan akhirnya memilih pamit pergi.

Beringsut perlahan saya pun pergi dengan aliran kisah ‘baru’ bagi awam seperti saya. Hanya satu hal yang tertanam di hati, sungguh Rasululllah pengasih dan penyayang, sebagaimana sifat Allah rahman dan rahim, bukan mengedepankan pedang dan perang.

# Dimuat awal di edisi cetak Bisnis Indonesia pada 22 Januari 2016.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper