Kabar24.com, JAKARTA – Apapun langkah yang diambil pemimpin Iran setelah keputusan Presiden AS Donald Trump untuk keluar dari kesepakatan nuklir akan semakin mengganggu stabilitas domestiknya lebih dari upaya mereka meminimalisir kerusakan ekonomi.
Nilai mata uang jatuh, perbankan terkena utang buruk, dan kembalinya sanksi yang lebih luas dari AS dapat berarti bahwa perusahaan-perusahaan Eropa bakal memutuskan sangat berisiko untuk memberikan investasi kepada negara Republik Islam tersebut.
Kerugian signifikan dari pendapatan minyak mentah akan menghantan pundi-pundi keuangan Iran dengan kuat. Selain itu, tantangan besar akan muncul bagi Presiden Iran Hassan Rouhani, yang telah memenangkan pemilu sebanyak dua kali dengan janji akan mengakhiri isolasi Iran dan membangkitkan sektor ekonomi.
Henry Smith, Kepala Analis Control Risks di Dubai menyatakan, beberapa bulan ke depan akan begitu sulit bagi perekonomian Iran.
“Sulit untuk melihat sebaliknya. Kesempatannya hanya jika ada beberapa jenis mekanisme yang disatukan untuk mengelola beberapa sanksi sekunder,” katanya seperti dikutip Bloomberg, Kamis (10/5/2018).
Sementara itu, Pratibha Thaker, Direktur Editorial untuk Timur Tengah dan Afrika di Economist Intelligence Unit, memperkirakan Iran akan resesi pada tahun depan.
Adapun, beberapa pihak yang melobi Trump untuk keluar dari kesepakatan mengungkapkan, penetapan sanksi yang lebih besar untuk ekonomi Iran dapat menekan Tehran agar menyerah atas kehadiran regionalnya dan menghentikan perkembangan misil balistik.
Sementara itu, para pemimpin Iran menyatakan bahwa mereka tidak akan berkompromi untuk masalah keamanan nasional dan Iran secara luas menuduh AS tidak mematuhi kesepakan yang telah memakan waktu bertahun-tahun untuk negosiasi.
Dampak besar di dalam pendapatan pemerintah Iran akan datang dari turunnya penjualan minyak. Pasalnya, AS telah memberikan perusahaan waktu tenggang selama 180 hari untuk melepaskan diri dari kesepakatan energi Iran. Namun, Iran tampaknya tidak akan terlalu menderita seperti sebelumnya ketika berada di bawah rezim-sanksi yang dikeluarkan sebelum kesepakatan 2015. Pasalnya, kali ini AS hanya menjalankan sanksi itu sendiri.
Pembeli minyak Iran, termasuk China, tampaknya akan menentang langkah AS dan mencari jalan keluar untuk menghindari sanksi sekunder. Pasalnya, sanksi itu dapat menempatkan perbankan, perusahaan pelayaran, penyulingan, asuransi, dan pelabuhan berada dalam risiko kehilangan akses untuk sistem perbankan global karena berdagang dengan Iran.
Adapun, di dalam upaya melindungi perekonomiannya, Iran juga telah menukar perdagangan minyaknya dengan mata uang selain dolar AS. Pada bulan lalu, Iran mengumumkan euro akan menjadi mata uang acuannya.
Namun, menurut ekonom dan analis, pergantian itu memberikan perlindungan terbatas karena perusahaan Eropa telah terjerat di dalam sistem perbankan global.
“Menerima pembayaran dalam euro hanya akan menyelamatkan ekspor minyak Iran,” kata Sara Vakhshouri, Kepada Konsultan SVB Energy di Washington