Bisnis.com, JAKARTA -- Produk farmasi palsu dan ilegal yang beredar secara global terus mengalami kenaikan dan tumbuh 5% pada 2016 dibandingkan tahun sebelumnya.
Menurut Pharmaceutical Security Institute (PSI) yang mengutip data Kementerian Dalam Negeri AS pada 2016, secara global dilaporkan terdapat 3.147 temuan pelanggaran produk farmasi palsu dan ilegal di 127 negara. Secara global, terjadi pertumbuhan 5% dibandingkan temuan pada tahun sebelumnya.
"Peredaran produk-produk obat palsu tersebut dapat membahayakan keselamatan jiwa konsumen yang mengonsumsinya," ungkap Ketua Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) Justisiari P. Kusumah di Jakarta, Senin (30/4/2018).
Peredaran obat palsu juga pernah dirasakan oleh salah satu anggota MIAP, Pfizer. Pada 2016, otoritas penegak hukum di 13 negara Asia Pasifik menyita 5,6 juta dosis obat-obatan Pfizer yang dipalsukan, seperti Viagra dan Ponstan.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal (Dirjen) Aplikasi Informatika (Aptika) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Samuel A. Pangerapan memberikan ide untuk membentuk apotek online guna melindungi masyarakat dari obat palsu atau tidak sesuai dengan standar.
"Obat-obatan itu perlu suatu mekanisme khusus. Makanya, tadi saya tawarkan perlu enggak kita buat yang namanya apotek online. Masyarakat kan sekarang sudah 50% lebih masuk di dunia online, jadi ketika masyarakat mau beli obat, mereka bisa beli secara online," ungkapnya.
Konsep ide tersebut disusun agar masyarakat yang memang ingin membeli resep obat dengan mudah untuk digunakan dalam proses penyembuhan diri tidak perlu repot untuk cek ke dokter. Dokter yang bersangkutan bisa memberikan resep secara online, dengan syarat bahwa dokter tersebut sudah terverifikasi kredibilitasnya dan memiliki sertifikat online yang datanya sudah terdaftar di Kominfo.
Direktur Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Hardaningsih menilai ide tersebut bagus. Namun, untuk mewujudkannya, para stakeholder terkait seperti BPOM, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan Kominfo harus melakukan pembahasan lebih lanjut.