Kabar24.com, JAKARTA — Kepercayaan pelaku usaha terhadap sistem peradilan perdata diyakini semakin tinggi bila lembaga pengadilan memperkuat kelembagaan eksekutor atau juru sita.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly menjelaskan putusan pengadilan baru dapat terlaksana apabila dieksekusi. Berbeda dengan sistem peradilan pidana yang memiliki eksekutor dari kejaksaan, putusan pengadilan perdata kerap tidak tereksekusi.
“Jadi eksekutor atau juru sita harus jalan. Kalau tidak, putusan hanya sebatas kertas saja,” katanya dalam acara AHP Business Law Forum di Jakarta, Selasa (24/4/2018).
Lantaran ketidakpastian eksekusi, Yasonna mengatakan para penggugat perdata kemudian lebih memilih perselisihan perdata mereka diselesaikan secara pidana. Tak jarang, kata dia, delik pidana dicari-cari untuk menekan lawannya agar bersedia membayar nilai kerugian.
“Karena takut dihukum, mau tak mau harus membayar. Padahal pidananya dipaksakan,” ujarnya.
Senior Partner Assegaf Hamzah and Partners (AHP) Chandra M. Hamzah mengusulkan agar kelembagaan juru sita tidak lagi berada di bawah kepaniteraan. Idealnya, menurut dia, ekekutor sejajar dengan panitera alias sama-sama di bawah ketua pengadilan.
Chandra juga meminta personalia juru sita ditambah. Selama ini, juru sita kerap mengajukan permohonan bala bantuan kepada kepolisian. Padahal, eksekusi sengketa bukan tugas utama kepolisian.
“Jadi juru sita harus punya pasukan dan pemukul sendiri. Kalau perlu penyitaan ini dijadikan KPI [indikator performa kinerja] pengadilan,” tuturnya.
Bila sistem peradilan perdata tak ada terobosan, Chandra meyakini pelaku usaha tetap lebih mempercayakan kasus mereka diselesaikan secara pidana. Apalagi, pemidanaan perselisihan yang berawal dari masalah perdata didukung dengan keberadaan 55 pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur pidana harta-benda. Beberapa delik yang mendukung a.l. perbuatan curang, pemalsuan, dan penggelapan.
Ironisnya, tambah mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini, aparat penegak hukum kurang memiliki kapasitas keilmuan memadai untuk memisahkan perkara berbau perdata dengan pidana. Dia memaklumi kondisi ini karena penyidik, jaksa penuntut umum, hingga hakim dididik untuk menjadi seorang generalis.