Kabar24.com, JAKARTA–Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad menilai langkah KPK menolak permintaan Menkopolhukam Wiranto untuk menunda pengumuman calon kepala daerah sebagai tersangka korupsi sudah tepat.
Pasalnya, jika meluluskan permintaan lembaga negara lain KPK bisa diartikan memperlambat dan melemahkan upaya pemberantasan korupsi itu sendiri.
“Jabatan yang melekat pada Pak Wiranto adalah Menko Polhukam. Jadi, permintaan terhadap KPK agar menunda pengumuman tersangka kepala daerah yang terlibat korupsi itu sudah merupakan bentuk intervensi terhadap KPK yang merupakan lembaga independen. Jangankan kementerian, Presiden pun tidak bisa mengintervensi KPK,” kata Samad, Rabu (14/3/2018).
Ia mengingatkan, dalam sistem tatanegara KPK ditempatkan sebagai lembaga independen yang berfungsi sebagai lembaga penegakan hukum dalam hal pemberantasan korupsi. Hal itu termasuk korupsi yang dilakukan di sejumlah daerah yang melibatkan calon kepala daerah petahana atau bukan petahana.
Samad dapat memahami, apa yang disampaikan Wiranto secara substantif bermuatan positif, yakni dalam penyelanggaraan Pilkada di 171 daerah agar tidak menimbulkan kegaduhan. Pengumuman tersangka sejumlah calon kepala daerah yang akan ikut pilkada diduga dapat mempengaruhi tahapan pilkada serentak dan pilihan rakyat terhadap calon kepala daerah tersebut.
Namun demikian Samad mengingatkan kalaupun KPK meluluskan permintaan Wiranto untuk menunda pengumuman tersangka, maka dampak yang ditimbulkan atas penundaan itu tidaklah kecil dan bahkan semakin buruk.
Baca Juga
Samad mencontohkan, kalau seorang kepala daerah yang semula sudah dilakukan pengusutan terhadap kasus korupsi tapi kemudian ditunda karena adanya permintaan, setelah selesainya pilkada dan dilantik menjadi kepala daerah, persoalan akan kembali muncul.
Selain merugikan biaya, waktu, dan tenaga untuk menyelenggarakan Pilkada, kata Samad, juga merugikan rakyat pemilih yang tidak percaya lagi kepada pemimpinnya sendiri karena mereka merasa dipimpin oleh kepala daerah yang korup.
Dalam konteks hukum dan ketatanegaraan, kata Abraham, permintaan Wiranto tetaplah dapat dikategorikan intervensi terhadap tugas dan fungsi KPK sebagai lembaga independen yang bertugas melakukan penegakan hukum terhadap kasus-kasus korupsi.
“Jadi KPK tidak perlu menanggapi permintaan Pak Wiranto itu, syukur kalau malah menolaknya secara tegas,” kata Abraham.
Menurut Abraham, tugas dan kewenangan KPK adalah mengusut tindakan korupsi yang dilakukan siapa saja dan menindak kapan saja. Kerja KPK tidak boleh batasi ruang dan waktu, bahkan tidak boleh dihentikan karena adanya intervensi dari pihak mana pun, bahkan dari Presiden RI sekalipun.
Abraham mengemukakan data dan fakta dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan adanya aliran dana mencurigakan yang diduga digunakan terkait Pilkada Serentak 2018.
PPATK mencatat 53 transaksi elektronik dan 1.066 transaksi tunai puluhan miliaran rupiah.Sedang perihal aliran dana yang terkait peserta pilkada tercatat 368 transaksi mencurigakan dan yang sudah ada hasil analisanya sebanyak 34 laporan.
Bahayanya jika KPK tunduk pada intervensi sebagaimana yang dilakukan Wiranto, penanganan kasus-kasus dugaan korupsi yang melibatkan calon kepala daerah bisa jalan di tempat. Bahkan, lanjut Samad, alat-alat bukti kasus tersebut bisa hilang atau sengaja dihilangkan untuk menghapus jejak.
“Jika tunduk kepada keinginan Pak Wiranto itu, KPK bisa ditafsirkan sebagai memberi toleransi terhadap kejahatan korupsi. Atau paling tidak dikategorikan sebagai upaya pembiaran terhadap terjadinya kejahatan korupsi,” kata Samad.
“Jadi teman-teman komisioner KPK harus tetap menjaga marwah dan kredibilitas KPK sebagai lembaga independen penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Jangan terpengaruh intervensi lembaga negara lain,” pungkasnya.