Bisnis.com, JAKARTA - Monumen Pembebebasan Irian Barat yang berdiri tegak di Lapangan Banteng, Jakarta punya adalah salah satu patung paling ikonik yang ada di Indonesia. Patung setinggi 9 meter tersebut adalah karya dari pematung Edhi Soenarso.
Sang pematung juga dikenal melalui berbagai karya legendarisnya seperti patung Selamat Datang yang terletak di Bundaran Hotel Indonesia dan Patung Dirgantara atau yang lebih dikenal sebagai Tugu Pancoran di bilangan Pancoran Jakarta.
Ada kesamaan dari ketiga patung tersebut, yakni otot-otot tubuh yang begitu kekar dan menyembul. Kurator Kuss Indarto mengatakan, kemungkinan besar penggambaran sosok manusia yang kuat itu ditujukan untuk menyuarakan semangat kebangsaan pada era awal kemerdekaan Indonesia.
“Memang kalau diperhatikan otot-ototnya mengabaikan struktur anatomi tubuh yang semestinya. Kalau dalam seni lukis bisa dibilang teknik yang digunakannya sama dengan brush stroke yang tegas dan bertekstur,” jelasnya.
Kuss menjelaskan, patung tersebut digagas Soekarno sebagai karya seni publik yang bisa dinikmati semua orang. Dia ingin masyarakat Indonesia punya karya seni monumental seperti yang ada di negara-negara Eropa, terutama negara Eropa Timur seperti Rusia yang punya kedekatan tersendiri dengannya.
Meski dibuat oleh Soenarso, sketsa patung tersebut dibuat oleh seniman Henk Ngantung yang juga dekat dengan Bung Karno. Rantai yang terputus pada tangan dan kakinya digambarkan sebaga lambang terputusnya kekuasaan Belanda atas wilayah tersebut
Dalam pembangunan monumen-monumen besar di Jakarta, Soekarno memang sering berkolaborasi dengan beberapa seniman dan arsitek sekaligus. Lapangan Banteng sendiri didesain oleh arsitek Friedrich Silaban.
Arsitek Setiadi Sopandi menuturkan, Lapangan Banteng beserta Monumen Pembebasan Irian Barat awalnya dirancang oleh Silaban sebagai monumen pendamping Tugu Monumen Nasional yang berada di kawasan Medan Merdeka, Jakarta.
“Para seniman dan arsitek saling bekerja sama mendukung visinya Soekarno. Dalam Monumen Pembebasan Irian Barat, patungnya dibuat oleh Edhi Soenarso, tetapi kaki patungnya itu dibuat oleh Silaban. Sama juga dengan patung Selamat Datang dan Patung Dirgantara,” jelasnya.
Sementara itu, dari sisi tata kotanya, Setiadi mengatakan bahwa sebenarnya pengembangan kawasan Lapangan Banteng sendiri sudah dimulai sejak era pendudukan Belanda. Pada masa pendudukan Inggris, Perancis, Jepang, hingga kembali ke Indonesia rencana pengembangannya selalu berubah.
“Kalau kita lihat aranya pembangunan Jakarta dari zaman Batavia itu merupakan perluasan dari arah utara ke selatan. Kawasan Medan Merdeka, Lapangan Banteng, ditujukan untuk jadi kota baru penyangga Jakarta,” jelasnya.
Setiadi mengatakan keberadaan monumen-monumen tersebut ditujukan untuk menjadi ikon baru kota Jakarta dan Indonesia. Monumen Pembebasan Irian Barat misalanya, ditempatkan sebagai pemandangan bagi para tamu internasional yang menginap di Hotel Banteng (sekarang Hotel Borobudur).
Kuss menambahkan bahwa selama hidupnya Soenarso dikenal sebagai salah satu seniman yang dekat dengan Soekarno. Tidak hanya menerima pesanan untuk tiga patung ikonik Jakarta saja, dia juga sempat diminta untuk membuat beberapa karya lain seperti Diorama Sejarah Indonesia yang berada dalam Museum Sejarah Nasional yang berada di Monumen Nasional, Jakarta.
Padahal, lanjutnya, waktu itu Soenarso sempat menolak memenuhi permintaan tersebut karena merasa tidak cukup piawai membuat diorama. Namun, Soekarno langsung mengirimnya ke Rusia untuk belajar tentang teknik membuat diorama.
“Soekarno memenuhi janjinya waktu itu untuk menyekolahkan Soenarso ke Rusia. Kedekatan Soekarno dengan para seniman memang seperti itu, dia tidak segan mengeluarkan banyak biaya untuk memajukan para seniman,” jelasnya.
Sikap Soekarno yang loyal kepada para seniman juga menyebabkan kontroversi dan masalah yang berlangsung lama. Sebagai contoh, biaya pembuatan Patung Dirgantara baru selesai pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri.