Kabar24.com, SURABAYA - Lima benda peningalan bersejarah yang ada kaitannya dengan Nahdatul Ulama (NU) milik keluarga besar Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini disimpan di Museum NU di Jalan Gayungsari Timur Kota Surabaya.
Ketua Pengurus Cabang Nahdatul Ulama (PCNU) Surabaya Muhibin Zuhri, di Surabaya, Senin (8/1/2018), mengatakan ada lima artefaknya sudah disimpan di Museum NU yakni keris, ndok bledhek, klak bahu dan dua buah gaman keris tombak.
"Bu Risma berharap supaya Museum NU bisa menjadi salah satu destinasi edukasi sejarah yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat," kata Muhibin.
Untuk itu, dia akan terus bekerja sama dengan Pemerintah Kota Surabaya untuk mengembangkan museum yang telah diresmikan K.H. Abdurahman Wahid (Gus Dur) pada 2004 itu.
Selain mengembangkan Museum NU, ia bersama wali kota sudah sepakat untuk bekerja sama mengembangkan dan memberdayakan warga nahdliyin, terutama dalam mengangkat harkat dan martabat dalam bidang ekonomi.
"Salah satu pemberdayaannya, nanti akan dibentuk koperasi dari warga nahdliyin dan untuk warga nahdliyin. Mungkin nanti ada ritel atau apa saja yang nanti produknya bisa diisi oleh warga sendiri. Nanti akan kami diskusikan lebih lanjut," kata Muhibin.
Baca Juga
Muhibin juga mengaku senang atas kunjungan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini ke Museum NU, Senin (8/1/2017) untuk melihat langsung beberapa koleksi yang dititipkan keluarganya dan kilas balik sejarah sesepuhnya.
Sebab, lanjut dia, Tri Rismaharini diakui salah satu keturunan dan keluarga besar pendiri NU di era awal.
Risma saat kunjungannya ke Mueseum NU menjelaskan bahwa dirinya masih keturunan pendiri NU, karena kakek buyutnya yang bernama Jayadi merupakan salah satu pendiri NU. Jayadi ini memiliki dua anak, kakeknya Wali Kota Risma dan kakenya Mohammad Nuh (mantan Menteri Pendidikan RI).
"Mbah Jayadi itu pendiri NU. Beliau dari nasab bapak saya," kata Risma
Bahkan, Wali Kota Risma menceritakan bapaknya pernah ikut kakeknya yang rumahnya di Blauran Gang 4. Rumah itu ditempati para santri yang ikut resolusi jihad yang digagas oleh K.H. Wahad Hasbullah.
"Para santri-santri itu tidur di sana. Bapakku tahu betul soal ini dan pernah cerita. Jadi, memang saya keturunan NU," ujarnya.