Kabar24.com, JAKARTA – Kelompok agama, akademisi, mahasiswa dan masyarakat sipil mengadakan Gelar Wicara bertajuk ‘Mengedepankan Tanggung Jawab dan Kepemimpinan untuk Konservasi Keanekaragaman Hayati’, di Jakarta pada Kamis (16/11/2017).
Ketua Pusat Pengajian Islam Universitas Nasional, Fachruddin Mangunjaya, mengatakan tujuan utama dari pertemuan tersebut adalah untuk mengangkat pengalaman para peserta dalam hal perlindungan keanekaragaman hayati.
Pertemuan ini menjadi penting karena menjelaskan bagaimana kepemimpinan individu, masyarakat, dan kelompok agama telah membuat perbedaan untuk membuat hutan Indonesia berkelanjutan bagi generasi sekarang dan masa depan.
“Kepemimpinan dapat menjadi role model dan menjadi teladan dalam hal perilaku menyelamatkan satwa. Maka tokoh masyarakat termasuk pemimpin agama, dapat menjadi kunci keberhasilan dan memberi pengaruh pada tingkat akar rumput,” kata Fachruddin di sela-sela pertemuan.
Dia memaparkan perdagangan satwa liar adalah masalah serius di Indonesia. Berbagai temuan dari hasil riset, sitaan, dan observasi menunjukkan perdagangan satwa di Indonesia berkembang pesat seiring dengan meningkatnya permintaan domestik, regional dan dunia.
Menurut Wildlife Conservation Society—WCS (2015), nilai perdagangan ilegal satwa di Indonesia diperkirakan mencapai Rp13 triliun per tahun. Populasi sejumlah spesies kunci Indonesia menurun drastis.
Baca Juga
Adapun, menurut International Union for Conservation of Nature, tersisa hanya 400-500 harimau sumatra di hutan saat ini. Hanya ada 40-60 badak jawa dan 170-230 badak sumatra yang masih hidup. Tidak hanya itu, populasi orang utan Indonesia juga terus menurun.
Dengan adanya urgensi tersebut, tidak hanya pemerintah, tetapi juga kelompok masyarakat, kelompok agama dan termasuk kelompok pemuda semakin banyak yang mencurahkan dukungan untuk menjawab persoalan konsumerisme, terutama terhadap meningkatnya permintaan produk satwa bernilai tinggi.
“Mereka menyadari ini bukan persoalan yang sederhana. Selain itu, mereka menilai reformasi kebijakan tidak bisa berjalan sendiri, melainkan harus bergerak beriringan dengan perubahan perilaku, dan perbaikan norma sosial untuk meredam permintaan produk-produk satwa liar.”
Hanya saja, lanjut Fachruddin, gerakan penyelamatan keanekaragaman hayati dan terobosan itu belum dikenal masyarakat luas, sehingga tidak dapat ditularkan kepada kelompok masyarakat di daerah lain.
“Untuk itu, pertemuan ini menjadi ruang bersama untuk kembali menegaskan bahwa perlindungan satwa liar dan konservasi hutan harus lahir sebagai gerakan inklusif, di mana partisipasi dari semua elemen masyarakat diperlukan, dan juga menjadi jembatan dialog antar elemen masyarakat yang beragam di Indonesia,” tegasnya.
Dengan mengambil sikap terhadap isu ini, kelompok agama dan kelompok masyarakat memiliki potensi dalam penyebarluasan pesan-pesan ini pada mayoritas penduduk Indonesia, membantu meningkatkan kepedulian masyarakat akan pentingnya mencegah perdagangan hidupan liar dan memainkan peran aktif dalam kegiatan perlindungan hidupan liar.
Gelar Wicara ini dihadiri oleh tokoh masyarakat, tokoh agama, para perwakilan masyarakat dan pemuda dari Aceh, Riau, Sumatera Selatan, Bali, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Jawa Barat, yang menjadi garda terdepan untuk upaya pendidikan dan penyadartahuan di tingkat tapak.