Kabar24.com, JAKARTA - Suatu jenis orangutan baru dengan nama ilmiah Pongo tapanuliensis atau Orangutan Tapanuli, dinobatkan sebagai spesies orangutan ketiga, setelah Pongo pygmaeus (Orangutan Kalimantan) dan Pongo abelii (Orangutan Sumatera).
Hal ini secara resmi dipublikasikan dalam jurnal internasional Current Biology pada tanggal 3 November 2017.
Dalam keterangan resminya, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Wiratno menyampaikan ini merupakan temuan terbesar abad ini.
Pengukuhan spesies baru ini ditandai dengan perbedaan genetik yang sangat besar di antara ketiga jenis orangutan, melebihi perbedaan genetik antara gorila dataran tinggi dan rendah, maupun antara simpanse dan bonobo di Afrika, sebagaimana disampaikan salah seorang peneliti IPB, Puji Rianti.
“Perbedaan lainnya dari segi morfologi, yaitu ukuran tengkorak dan tulang rahang lebih kecil dibandingkan dengan kedua spesies lainnya, serta rambut di seluruh tubuh Orangutan Tapanuli yang lebih tebal dan keriting”, jelasnya.
Berdasarkan hasil penelitian tahun 2016, tidak lebih dari 800 individu Orangutan Tapanuli hidup pada tiga populasi terfragmentasi di Ekosistem Batang Toru. Hal ini disebabkan tekanan akibat konversi hutan dan perkembangan lainnya.
Saat ini kawasan seluas 150.000 Ha tersebut merupakan habitat terakhir bagi Orangutan Tapanuli dengan jumlah individu terpadat, yaitu kurang dari 110.000 Ha.
Sebagaimana diketahui, sekitar 85% kawasan kawasan Ekosistem Batang Toru menjadi KPH Lindung, melalui Surat Keputusan Menteri LHK Nomor : SK.637/MenLHK-Setjen/2015, tanggal 14 Desember 2015.
Terkait dengan keberadaan Orangutan Tapanuli, yang justru banyak terdapat di kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) dari Ekosistem Batang Toru ini, Wiratno berpendapat, perlu ada pengelolaan efektif kawasan yang didukung semua pihak, mulai dari masyarakat, pemerintah, hingga komunitas dan LSM.
“Dalam waktu dekat, kami (Menteri LHK) akan melakukan peninjauan ke lokasi, dan ini tantangan bersama dalam pengelolaan kawasan konservasi, bagaimana membangun pengelolaan kolaboratif yang efektif bersama masyarakat”, tegas Wiratno.
Orangutan Tapanuli diduga merupakan keturunan langsung dari nenek moyang orangutan yang bermigrasi dari Dataran Asia pada masa Pleistosen (+ 3.4 juta tahun silam). Satwa ini diketahui memiliki jenis panggilan jarak jauh/ long call (cara jantan menyebarkan informasi) yang berbeda, serta jenis pakan unik yang hanya ditemukan di Ekosistem Batang Toru.
Populasi Orangutan Tapanuli terpecah ke dalam dua kawasan utama (blok barat dan timur), oleh lembah patahan Sumatera, dan juga ada populasi kecil di Cagar Alam Sibual-buali di sebelah tenggara blok barat. Kedepannya, satwa ini akan diusulkan ke dalam daftar spesies “sangat terancam punah” (critically endangered) berdasarkan daftar merah IUCN.
Penemuan ini diawali dengan penelitian populasi Orangutan Sumatera pada habitat terisolir yaitu Ekosistem Batang Toru, di ketiga Kabupaten Tapanuli, yaitu Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini merupakan kerjasama antara KLHK, LIPI, IPB, Universitas Nasional, dengan Yayasan Ekosistem Lestari - Program Konservasi Orangutan Sumatra (YEL-SOCP), yang telah berlangsung sejak tahun 1997.