Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Abraham Runga

Redaktur Asuransi & Finansial

Bergabung dengan redaksi Bisnis Indonesia pada 1993, banyak menulis isu pasar modal, sosial, dan humaniora.

Lihat artikel saya lainnya

Alexis & Kota Kita

Kehangatan berita penutupan tempat hiburan Alexis mungkin saja sudah berlalu. Namun, femomenanya masih layak untuk direnungkan.

Kehangatan berita penutupan tempat hiburan Alexis mungkin saja sudah berlalu. Namun, femomenanya masih layak untuk direnungkan.

Kita boleh lagi mengajukan pertanyaan, apa yang mendasari keributan kita tentang Alexis? Soal aktivitas hiburan,  soal nilai-nilai di baliknya, atau soal proses perizinan dan administrasi yang menyalahi regulasi pemerintahan kota?

Kalau soal  prosedur perizinan, silahkan ditertibkan. Namun,  terkait aktivitas dan usaha hiburan berikut nilai yang mendasarinya, sabar dulu.

Bukankah ribuan jenis hiburan serupa menjamur di kota ini? Mengapa hanya Alexis?. Atau memang semua aktivitas sejenis harus ditiadakan? Boleh-boleh saja, asal dengan alasan dan pendasaran ideologis yang kuat.

Cuma ingat, Jakarta, sebagaimana metropolitan pada umumnya, adalah sebuah wajah plural, yang terbentuk melalui sejarah yang panjang dengan sedimentasi nilai yang tidak tunggal.

Mungkin saja kota ini, seperti kota-kota lain, terbentuk karena proses indianisasi pada abad-abad pertama. (George Coedes, 1968). Kemudian,  bangsa China dan Arab, atas nama misi perdagangan dan agama, juga punya andil membentuk wajah kita ini.

Mona Lohanda dalam The Kapitan Cina of Batavia 1837-1942 mencatat, ketika pertama kali Cornelis de Houtman tiba di kota ini pada 13 November 1596, orang-orang China ternyata sudah mendiami wilayah timur Sungai Ciliwung. Mereka bersawah dan menyuling arak di lokasi itu.  Konon, lahan itu diberikan oleh Pangeran Wijaya Krama.

Selanjutnya, datang bangsa Eropa, khususnya Belanda yang melalui monopoli korporasi (VOC) berusaha menguasai perekonomian wilayah nusantara.

Kehadiran Belanda sekaligus memacu urbanisasi sehingga datang berbagai suku  bangsa dari seantero Nusantara ke wilayah yang didiami orang Betawi ini.

Urbanisasi dan migrasi menjadikan Jakarta sebagai kota yang plural, baik orang-orangnya, gaya hidup dan nilai-nilai yang dianuti.

Pluralitas menjadi karakter metropolitan dengan hiruk pikuk aktivitas perekononian yang kemudian menjadi makin rumit ketika arus globalisasi ekonomi mendatangi wilayah ini.

Ruang-ruangnya kemudian terbelah dua, yakni sebuah ruang global  (globalitas) dan   lokalitas.

Ruang global terkoneksi dengan kota-kota metropolitan lain di dunia dengan gaya hidup yang serupa dan diisi dengan berbagai bangunan tinggi, tempat beroperasinya korporasi-korporasi global.

Sementara, pada ruang yang lain, adalah daerah yang agak kumuh, diisi oleh kaum urban lokal dengan rumah-rumah yang sederhana.

Jakarta menjadi kota berwajah ganda. Di sana tak sekadar terjadi perbenturan dalam pencarian nafkah, tapi juga berbentur berbagai makna; dalam memahami Jakarta sebagai metropolis modern, pusat negara, pusat propinsi dan kantung-kantung lokalitas.

Tentang berbagai perbenturan ini, mari kita memahami Manuel Castells dalam karyanya The City and The Grass Roots (1983). Dia melakukan kajian kota sebagai hasil  kreasi warganya.

Dia menulis demikian, "kami mendapat gambaran tentang kehidupan orang-orang, berbagai analisis tentang kebudayaan,berbagai partisipasi mereka dalam konflik-konflik politik yang telah membentuk karakter kota, tetapi sedikit sekali yang kami ketahui tentang upaya orang-orang ini  mengubah evolusi kota".

Castells ingin menegaskan kalau fokus orang-orang ini bukan pada perubahan dan ekologi kota, melainkan pada interpretasi dan persepsi kota, dan mereka mengkonstruksi kota melalui tindakan seturut konsep dan interpretasi mereka.

Lalu, dia berkesimpulan, para warga kota menggeluti kotanya tidak dalam kerja sama yang harmonis, melainkan melalui konflik antara pihak yang mendominasi dan mendesak pemahaman mereka tentang kota pada pihak yang mereka dominasi.

Apakah penutupan Alexis juga bagian dari perbenturan itu? Mungkin saja. Sebuah peringatan, biar tidak pusing dan terkuras energi secara sia-sia,  para pemimpin kota ini mesti tidak didikte dan terjebak dalam konflik nilai-nilai warganya.

Cukuplah saja mereka berkonsentrasi pada kepentingan dan nilai-nilai yang bisa diterima semua warga, yakni penataan kota yang aman dan indah, bebas macet, punya fasilitas publik yang memadai, punya trotoar, taman, dan kanal-kanal kota yang  tertata.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Abraham Runga
Editor : Rahayuningsih

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper