Bisnis.com, JAKARTA – Khawatir proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) dan pailit disalahgunakan, asosiasi kurator dan pengurus mengusulkan adanya batas nilai utang-piutang yang jadi dasar pengajuan ke pengadilan niaga.
Sejumlah kalangan meminta batas terendah nilai utang untuk pengajuan PKPU dan pailit adalah Rp90 juta hingga Rp100 juta.
Dengan begitu, sebuah perusahaan tidak gampang untuk diseret ke pengadilan untuk restrukturisasi utang. Selama ini, perusahaan bisa masuk PKPU atau pailit dengan jumlah utang berapapun tanpa batasan.
Dewan Penasihat Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) 2013-2016 Ricardo Simanjuntak mengatakan pengajuan permohonan PKPU atau pailit perlu diberi batasan. Hal ini supaya permohonan tidak disalahgunakan untuk membunuh debitur
“Idealnya perusahaan bisa diajukan PKPU atau pailit jika punya utang 10.000 dolar Singapura atau setara Rp90 jutaan,” katanya, Jumat (27/10/2017).
Selama ini, UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU belum mengatur tentang batas utang. Alhasil, perusahaan dengan utang kecil pun dapat dengan mudah diajukan dipailitkan.
Padahal, pengajuan permohoan pailit atau PKPU ke pengadilan bisa memakan dana hingga Rp40 juta hingga peninjaun kembali. Oleh karena itu, tidak masuk akal apabila perusahaan dipailitkan hanya dengan tagihan di bawah Rp90 juta.
Batasan nilai utang ini telah diatur di negara lain seperti Singapura dan Inggris. Aturan tersebut merupakan pasal special arrangement.
Pakar hukum kepailitan dari Universitas Airlingga Hadi Subhan berujar aturan batasan jumlah utang memang perlu dirancang dalam UU kepailitan dan PKPU. “Dengan biaya perkara niaga yang tinggi, sudah sesuai logika jika jumlah utang debitir diatur,” tuturnya.
Hal ini menjadi pekerjaan rumah tim penyusun naskah akademis amendemen UU Kepailitan dan PKPU. Menurutnya, masih banyak pasal yang harus diubah, dihapus maupun ditambahkan
Hadi menyoroti beberapa pasal tidak jelas yang harus dihapus karena menimbulkan multitafsir. Salah satu contohnya yaitu Pasal 8 ayat (4) tentang pembuktian sederhana sebuah utang.
“Saya mengusulkan aturan tentang pembuktian sederhana dihapus karena sarat dengan tindakan koruptif,” tutur dia.
Arti kata sederhana tidak memberikan kepastian. Apa yang menurut para pihak sederhana belum tentu sederhana menurut hakim. Padahal syarat pengajuan PKPU dan pailit lainnya sudah terpenuhi seperti adanya utang jatuh tempo dan dua kreditur atau lebih.
Hal seperti itu, menurut Hadi, perlu dibahas dalam naskah akademis RUU Kepailitan dan PKPU.
Sementara itu, tim Kelompok Kerja Penyusunan Naskah Akademis menargetkan naskah akademis UU No. 37/2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang rampung pada kuartal III tahun depan.
Selanjutnya, naskah akademis dapat diusulkan menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU) ke DPR pada 2020.
Sejken Tim Pokja dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM Raymond Sitorus berujar perumusan naskah akademis menjadi RUU membutuhkan waktu yang panjang.
“Naskah akademis diracik sematang mungkin. Intinya jangan buru-buru," katanya usai acara Forum Kajian Hukum Bisnis dan Kepailitan di Jakarta, Rabu lalu (25/10).
Naskah akademis ini telah dirancang sejak 7 bulan terakhir. Tim pokja menampung segala masukan dan aspirasi dari kalangan yang berkepentingan.
Tim pokja penyusunan naskah akademis terdiri dari 10 orang yang termasuk akademisi, praktisi dan BPHN Kemenkumham. Tim Pokja diketuai oleh akademisi Teddy Anggoro.
Raymond mengaku tim pokja aktif mengikuti diskusi dan seminar kepailitan. Hal ini untuk memetakan aturan terbaik untuk naskah akedemis.
Naskah ini selanjutnya akan diuji oleh beberpaa ahli sebelum dijadikan RUU. Proses ini sekarang masuk dalam penguraian fase permasalahan.
Revisi undang-undang dilatarbelakangi oleh tidak sehatnya praktik PKPU dan Kepailitan. Menurut Ricardo, proses kepailitan perusahaan adalah hal yang biasa, namun membutuhkan sistem yang baik. Sistem itulah yang harus diperbaiki di UU Kepailitan dan PKPU.
“Salah satu alasan UU Kepailitan dan PKPU mendesak diamandemen yakni isinya sudah tidak relevan dengan perkembangan bisnis,” katanya.
Penyelesaian perkara kepailitan dalam kemudahan berusaha mengalami kemerosotan dari peringkat 76 ke 74 pada 2016. Hal ini terlihat dari indeks Ease of Doing Business yang dirilis World Bank.