Bisnis.com, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi menyatakan syarat cakupan wilayah minimal lima kabupaten/kota untuk membentuk sebuah provinsi tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Klausul cakupan wilayah itu tertuang dalam Pasal 34 ayat (2) huruf d dan Pasal 35 ayat (4) huruf a UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda).
Dua pasal tersebut digugat oleh para kepala daerah dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah se-Pulau Madura, Jawa Timur, bersama Ketua Umum Panitia Nasional Persiapan Pembentukan Provinsi Madura (PNP3M) Achmad Zaini.
Para pemohon menilai dua pasal tersebut menghambat rencana mereka membentuk Provinsi Madura karena di Pulau Garam baru terdapat empat kabupaten yakni Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Alhasil, dua pasal itu dianggap bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1), Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B ayat 1, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
Hakim MK Suhartoyo menjelaskan konstitusi sama sekali tidak mengatur mekanisme, syarat, dan kriteria untuk membentuk daerah tingkat satu maupun tingkat dua. Oleh sebab itu, pengaturan pembentukan provinsi dan kabupaten/kota diserahkan kepada pembentuk UU yakni parlemen dan pemerintah.
“Berapapun jumlah yang digunakan sebagai syarat cakupan wilayah atau syarat kapasitas sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (2) huruf d dan Pasal 35 ayat (4) huruf a UU Pemda tidak dapat dinilai bertentangan dengan UUD 1945,” katanya saat membacakan putusan di Jakarta, Kamis (19/10/2017).
Di samping itu, MK juga menolak dalil pemohon untuk memberikan label keistimewaan dan kekhususan buat Madura. Pasalnya, Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 memungkinkan pembentukan provinsi dengan mengecualikan syarat minimal lima kabupaten/kota dan syarat lain dalam UU Pemda.
Namun, Suhartoyo menegaskan keistimewaan dan kekhususan baru dapat dijadikan dasar pengujian apabila suatu daerah telah disahkan menjadi UU. Dia mencontohkan UU daerah otonomi khusus dan istimewa yakni Aceh, DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Papua.
Majelis Hakim MK juga menolak permohonan agar pada Pasal 35 ayat (4) UU Pemda ditambahkan norma baru yakni pembentukan daerah khusus dan istimewa cukup dengan minimal tiga kabupaten/kota. Menurut Suhartoyo, bila permintaan ini dikabulkan maka dapat memicu pengajuan pembentukan provinsi atau pemekaran dengan klaim kekhususan dan keistimewaan.
“Pemekaran wilayah pada dasarnya ditujukan demi efektivitas dan efisiensi pelaksanaan pemerintahan daerah, bukan untuk menemukan perbedaan di antara suatu kelompok masyarakat,” tutur Suhartoyo.
Kuasa hukum pemohon, Deni Setya Bagus Yuherawan, menghormati argumentasi dan pertimbangan MK yang menolak permohonan kliennya. Menurutnya, uji materi UU Pemda hanya merupakan salah satu strategi untuk membentuk Provinsi Madura selain skema pemekaran.
“Gugatan ditolak itu biasa. Tapi paling tidak persoalan Madura ini sudah jadi persoalan nasional,” ujarnya saat dimintai pendapat usai sidang.
Deni tetap berpandangan bahwa Madura memiliki kekhususan atau keistimewaan baik secara demografis, sosiologis, dan geografis. Namun, dia menegaskan pandangan itu bukan sebagai bentuk eksklusivitas suku Madura.
“Bukan dalam rangka mencari perbedaan. Bukan pula kami anti-NKRI. Justru ini dalam rangka memperkuat,” ucap Wakil Rektor I Universitas Trunojoyo Madura ini