Bisnis.com, JAKARTA — Pemilik merek punya tanggung jawab untuk menjaga hak kekayaan intelektual yang dimiliki dari praktik pemalsuan. Pasalnya, penegakan hukum dalam UU Merek dan Indikasi Geografis masuk delik aduan.
Ketua Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) Justisiari P. Kusumah mengatakan kerugian atas pemalsuan merek bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga pemilik merek.
Menurutnya, walaupun keberadaan beleid antipemalsuan lengkap, tetapi jika pemilik merek tidak memiliki kesadaraan untuk memproteksi hak kekayaan intelektual yang dimilikinya akan percuma.
“Saya tahu, ada beberapa pemilik merek besar yang kurang peduli dengan penegakan hukum. Karena mereka yakin, bahwa pengguna produknya masyarakat kelas atas dan ketika produk itu digunakan oleh kalangan menengah bawah, langsung dianggap palsu,” tuturnya kepada Bisnis, belum lama ini.
Menurutnya, karena Undang-Undang No. 13/2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis merupakan delik aduan, maka penegak hukum tidak dapat sewenang-wenang melakukan tindakan.
Terkait dengan penegakan hukum pemalsuan merek, sebenarnya banyak celah untuk pintu masuk. Dia menambahkan sebelum UU No. 13/2016 tentang Merek keluar, upaya hukum untuk penegakan barang palsu sudah berjalan.
Baca Juga
“Itulah pandai-pandainya penegak hukum dalam menggunakan dasar hukumnya. Misalkan seperti vaksin palsu kemarin, itu diungkap tidak menggunakan UU Merek, tetapi UU Kesehatan,” katanya.
Untuk melengkapi antisipasi pemalsuan, baru-baru ini diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 20/2017 tentang Pengendalian Impor atau Ekspor Barang yang Diduga Merupakan atau Berasal dari Hasil Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual.
Justisiari mengungkapkan bahwa konsumen Indonesia membeli produk palsu untuk jenis barang, elektronik, ponsel komputer, aksesoris.
Konsumen produk ini dianggap tidak terlalu peduli apakah produk tersebut asli atau tidak, meski sudah tahu itu palsu. Kemudian baru ke perangkat lunak, pakaian, barang kulit dan terakhir farmasi.
Sementara itu, konsumen tidak main-main untuk membeli produk kesehatan dan bahkan sepenuhnya sadar.
“Dengan membeli produk [farmasi] dari pemilik merek yang terkenal, mereka juga memakai [nama] produsen besar tersebut sebagai salah satu alat sensor bahwa produk yang digunakan itu tepat. Inilah perbedaan consumer behavior-nya,” ujarnya.