Kabar24.com, JAKARTA — Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai pemenuhan hak korban tindak pidana terorisme mutlak dilakukan karena memiliki dasar hukum yang kuat.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan bahwa dasar hukum pemenuhan hak-hak korban tindak pidana terorisme diatur oleh dua undang-undang, yaitu UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Karena diatur oleh dua undang-undang sekaligus, menurutnya, perlindungan dan pemenuhan hak korban terorisme dianggap sudah sangat kuat, baik hak untuk mendapatkan bantuan medis, rehabilitasi psikologis dan psikososial maupun kompensasi.
“Bagaimana mekanisme korban terorisme mengakses hak-haknya, termasuk dalam hal kompensasi, ini yang belum diatur perundang-undangan. Dalam pembahasan revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, inilah salah satu hal yang akan disempurnakan,” katanya, Rabu (11/10/2017).
Dia mengungkapkan, hingga saat ini, LPSK tengah memberikan sebanyak 118 layanan bagi korban terorisme, terdiri dari bantuan medis sebanyak 38 layanan, rehabilitasi psikologis 29 layanan, rehabilitasi psikososial 28 layanan dan fasilitasi kompensasi sebanyak 18 layanan.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menuturkan, awalnya fokus pada pembahasan revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme hanya fokus pada pencegahan, penindakan dan deradikalisasi. Kemudian LPSK berinisiatif agar perlindungan saksi dan korban dapat diatur dalam revisi UU.
“Hanya ada enam pasal tentang perlindungan saksi dan korban dalam UU tersebut,” katanya.
Menurutnya, pada kenyataannya banyak hal yang dibutuhkan korban namun belum terangkum dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban dan harus dimasukkan dalam revisi UU Terorisme.
Hal tersebut belajar dari pengalaman LPSK dalam melakukan pemenuhan hak korban terorisme selama ini, seperti penanganan sesaat bagi korban setelah terjadinya peristiwa terorisme.
Dalam memberikan bantuan kepada korban, lanjut Edwin, juga dibutuhkan surat keterangan korban dari penyidik. Terkait itulah, dalam pembahasan revisi UU Terorisme, dimasukkan kewajiban penyidik untuk menetapkan siapa saja korban dalam suatu peristiwa terorisme. Sedangkan untuk kompensasi, dalam praktik selama ini dimasukkan dalam tuntutan.
“LPSK meminta agar kompensasi sudah masuk sejak penyidikan. Ini penting agar proses kompensasi terus dibawa dari mulai penyidikan hingga sidang,” pungkasnya.