Kabar24.com, JAKARTA—Pemerintah Indonesia seharusnya mengalihkan tekanan dari pimpinan politik ke pemimpin tertinggi militer Myanmar guna meredam aksi kekerasan terhadap etnis Rohingya yang mengakibatkan pengungsian massal ke luar negeri.
Demikian dikemukakan oleh Anggota Dewan Asean Parlementarians for Human Right (APHR), Eva Kusuma Sundari dalam diskusi soal tragedi Rohingya di Gedung DPR, Senin (11/9).
Menurutnya, tekanan yang diarahkan kepada pemimpin de facto Aung San Suu Kyi tidak efektif untuk menghentikan tindakaan kekerasan terhadap etnis Rohingya selama ini. Bahkan dalam beberapa pekan terakhir ini tindakan tersebut semakin memprihatinkan sehingg hampir 300.000 orang terpaksa mengungsi ke luar negeri.
“Pemerintah harus menaikkan tekanan pada militer Myanmar untuk mengakhiri pembantaian, pembakaran dan pengusiran massal,” ujar anggota DPR dari Fraksi PDIP tersebut. Menurutnya, Panglima Militer Maynmar, Min Aung Hlain bertanggung jawab atas tindakan militer Maynmar dan dia memiliki kekuasaan untuk mengakhiri horor tersebut.
Menurut Eva, memberikan bantuan kemanusiaan penting, akan tetapi para pimpinan negara harus menyadari bahwa penderitaan rakyat Rohingya hanya akan berhenti jia militer Myanmar menghentikan serangan mereka.
Untuk itu, Eva menegaskan bahwa Indonesia harus memenuhi tugasnya sebagai pemimpian regional dengan mengajukan isu tersebut untuk dimasukkan ke dalam agenda Asean sebagai hal mendasar untuk kedamaian dan keamanan regional.
Baca Juga
Sementara itu, Direktur Eksekutif Burma Human Rights Network, Kyaw Win mengatakan bahwa Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine telah menghadapi penganiayaan berat sejak tahun 1978 di bawah diktator Jenderal Ne Win. Begitu juga berdasarkan UU Kewarganegaraan 1982 yang menyebutkan mereka tidak diakui sebagai warga negara Myanmar.
Dalam kondisi demikian, Kyaw mengatakan hampir tidak mungkin bagi etnis Rohingya untuk mendapatkan status kewarganegaraannya. Apalagi sejauah ini dominasi militer di parlemen Mayanmar semakin memperkecil peluang untuk mendapatkan status tersebut karena mereka beragama Islam.
Kyaw mengatakan meski jumlah penganut Islam mencapai 4% dari jumlah penduduk, tapi militer dan anggota parlemen tidak dibolehkan bagi mereka yang beragama Islam.
Sejak tahun 1962, pemerintah Myanmar dijalankan oleh orang orang yang sentimen, anti-Muslim di kalangan penduduk Budha di Myanmar, ujarnya. Militer telah berhasil membingkai Rohingya sebagai imigran ilegal dari Bangladesh meskipun beberapa bukti telah jelas menyatakan bahwa mereka ada sejak beberapa abad di negara bagian Rakhine, ujar Kyaw.
“Di Myanmar pada hari ini, tentara masih merupakan entitas yang paling kuat, bahkan lebih kuat dari pemerintah. Pemerintah Myanmar yang baru tidak ingin merusak hubungan baik dengan tentara sehingga pemerintah telah diam diri tentang masalah ini dan bahkan membela perilaku tentara,” ujarnya.