Bisnis.com, JAKARTA — Penerbitan Rancangan Peraturan Presiden Pelaksanaan Paten bakal molor akibat kesalahan penyusunan materi tentang wilayah pelaksanaan.
Direktur Paten, DTLST, dan Rahasia Dagang Kemenkumham Timbul Sinaga mengatakan kesalahan penyebutan pelaksanaan paten dapat dilakukan dalam koridor regional, tidak hanya di Indonesia. Maksudnya, pemegang paten dapat memproduksi di negara-negara Asean, meski produk tersebut dipasarkan di dalam negeri.
Dalam Undang-Undang No. 14/2001 tentang Paten, memang disebutkan pelaksanaan paten dapat dilakukan secara regional. Hanya saja, dalam beleid terbarunya, tidak lagi ada istilah regional.
“Dalam UU No. 13/2016 tentang Paten pelaksanaan paten wajib di Indonesia, penyusunan kemarin disebutkan regional. Itu mengapa Sekretariat Negara menolaknya,” tuturnya, Kamis (20/7/2017).
Sejalan dengan penolakan tersebut, Direktorat Paten DTLST, dan Rahasia Dagang merevisi materi tersebut. Hanya saja, hingga kini tidak ada penjelasan ulang dari Setneg. Padahal, beleid terjemahan Pasal 20 UU No. 13/2016 sudah dinanti pelaku usaha, khususnya pemegang paten.
Perpres ini menjelaskan aturan permohonan penundaan pemegang paten untuk membuat produk di Tanah Air. Dalam permohonannya, pemegang paten wajib memberikan alasan-alasan kepada Menteri Hukum dan HAM. Kemudian, Menteri akan membentuk tim ahli untuk melakukan pemeriksaan dan kajian terhadap permohonan pemegang paten.
Salah satu sektor industri yang menganggap kehadiran perpres ini penting adalah farmasi. Pasalnya, salah satu sektor industri strategis ini, pemenuhan bahan baku hingga produk hilirnya masih datang oleh pelaku asing.
Pemerintah menghadirkan Perpres ini sebagai solusi untuk memberikan pertimbangan kepada pemegang paten, untuk dapat menunda pembuatan produknya di Tanah Air atau tidak.
Timbul menambahkan pihaknya telah mengembalikan revisi materi perpres tersebut, namun pihaknya tidak mengetahui apakah Setneg sudah melakukan pembahasan ulang.
“Sudah kami kembalikan, setelah dilaporkan ke Dirjen dan Menteri [Kemenkumham]. Pokoknya tetap akan menjadi Perpres, bukan berbentuk beleid lain,” ujarnya.
Cita Citrawinda Noerhadi, Ketua Ketua Asosiasi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual Indonesia (AKHKI), mengatakan dengan adanya penolakan dari Setneg, sebaiknya DJKI lebih jelih dalam mengajukan materi.
Selain itu, menurutnya, sinergi antar lembaga juga patut untuk ditingkatkan, guan menghindari celah keluputan materi peraturan.
“Seperti pada Undang Undang Merek, kemarin Mahkamah Agung sempat mengeluh karena tidak diajak duduk bersama untuk membahasnya. Baiknya memang lebih banyak melakukan sosialisasi dan sinergi,” ujarnya.