Bisnis.com, JAKARTA — PT Sentosa Segara Mulia Shipping dan PT OSCT Indonesia menganggap kepailitan debiturnya yaitu Petroselat Ltd sudah patut.
Kedua kreditur tersebut mengklaim telah menagih utangnya senilai US$1 juta kepada anak usaha PT Sugih Energy Tbk itu secara pantas dan tidak terburu-buru.
Adapun putusan pailit oleh majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat juga telah sesuai UU No.37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU.
“Majelis menjatuhkan putusan verstek lantaran Petroselat Ltd [termohon palit] tidak pernah hadir dalam sidang pertama hingga putusan akhir dibacakan,” katanya, Kamis (20/7/2017).
Padahal, ungkapnya, pengadilan telah dua kali melayangkan surat panggilan sidang kepada Petroselat dan pemanggilan melalui koran.
Hendra keberatan jika debitur menunda membayar kewajibannya dengan alasan terdapat perombakan manejemen. Alasan tersebut dinilai merupakan urusan internal debitur yang tidak sewajarnya dibebankan kepada kreditur.
“Dengan status pailit ini, kami bisa mendapatkan kejelasan pembayaran utang. Kami tidak memerlukan alasan-alasan lain,” tuturnya.
Dia berdalih telah melakukan upaya penagihan terhadap Petroselat Ltd sejak 2015. Penagihan itu dimulai dari pengiriman invoice, surat somasi, pertemuan, negosiasi hingga menempuh jalur hukum di pengadilan niaga. "Kami sudah cukup bersabar dalam menagih utang yang menyebabkan kerugian dua klien kami,"
Data Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakpus menyebutkan anak usaha emiten SUGI ini pernah dipailitkan oleh PT Richland Logistich Indonesia dan PT Sentosa Segara Mulia Shipping. Perkara ini terdaftar dengan No.16/Pdt.Sus-Pailit/PN.Jkt.Pst pada 12 April 2016.
Namun kedua belah pihak menyatakan berdamai sebelum agenda putusan.
Selanjutnya, Petroselat Ltd dimohonkan PKPU oleh PT Power Oilfield and Chemical Services dan PT Petro Bangun Engineering pada 30 Agustus 2016. Meski begitu, perkara dengan register No.93/Pdt.Sus-PKPU/PN.Jkt.Pst ini juga berakhir damai antara kedua belah pihak di luar persidangan.
Menanggapi, kuasa hukum Petroselat Ltd Imam Haryanto mengaku debitur mengalami telat bayar karena bisnis minyak mentah sedang buruk pada 2015-2016.
Selanjutnya, terdapat perombakan manajemen sejak Januari 2017 sehingga terjadi beberapa kekosongan jabatan. Hal itulah yang menjadi alasan debitur tidak hadir dalam setiap sidang.
Kendati begitu, dia menyatakan komitmennya untuk membayar utang mengingat bisnis debitur kini sudah kembali normal.
“Kami ingin berdamai dalam proses kepailitan ini. Kami membuktikan dengan proposal perdamaian,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (20/7/2017).