Kabar24.com, JAKARTA--Masyarakat memiliki hak untuk menggugat pasal tentang penodaan agama.
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan bahwa jika tidak puas terhadap pasal 156a KUHP terkait penodaan agama karena dianggap diskriminatif maka masyarakat dapat menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut Refly, gugatan itu lazim dilakukan karena undang-undang yang baik adalah jika dalam perumusannya tidak multitafsir dan tidak bersifat diskriminatif. Kalau multitafsir berarti UU itu masih buruk dan bisa menimbulkan otoritarianisme mayoritas atas minoritas dan sebaliknya.
"Pasal 156a itu karena Presiden Soekarno waktu itu hanya untuk mengakomodir permintaan mayoritas kelompok beragama. Sementara itu dari sisi negara, negara itu, harus melindungi semua warga negara,” ujarnya.
Dalam perspektif hukum, ujarnya, tidak ada mayoritas maupun minoritas. Jadi, silakan masyarakat menggugat ke MK atas pasal 156a kalau dinilai diskriminatif," ujarnya dalam forum legislasi "Penghapusan Pasal 156a UU KUHP, Pasal Karet?" bersama anggota Komisi III DPR Arsul Sani, Selasa (16/5/2017).
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengatakan bahwa keberadaan pasal 156a KUHP soal penodaan agama berfungsi untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat.
"Pasal seperti ini diperlukan sebagai sebuah bentuk alat pengendalian sosial supaya tidak terjadi potensi kerusakan lebih besar. Itu diperlukan supaya masyarakat tidak bertindak sendiri-sendiri," ujar Arsul.
Dia menjelaskan bahwa saat ini revisi UU KUHP sedang dibahas DPR dan Pemerintah. Dia pun yakin pasal 156a akan tetap dipertahankan oleh mayoritas fraksi di DPR
"Kami tidak sepakat [revisi]. Paling tidak mayoritas fraksi di DPR," ujarnya.