Bisnis.com, JAKARTA - Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia menilai Kementerian Kelautan dan Perikanan abai terhadap kondisi nelayan kecil.
Setumpuk masalah yang tak terurai yakni penyelesaian alih alat tangkap cantrang, sengkarutnya distribusi bantuan kapal, dan penangkapan nelayan kecil di Aceh dan sejumlah daerah oleh aparat. Selain itu, menurut Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), masalah lain yakni skema perlindungan sosial bagi nelayan yang belum sigap di saat cuaca ekstrim dan akses modal serta pasar yang diskriminatif.
"Pemerintah khususnya KKP sebaiknya mulai memperkuat program-program yang berorientasi pada kesejahteraan nelayan dan tentu harus dibarengi dengan proses monitoring dan evaluasi yang baik agar program yang dijalankan tepat sasaran dan jelas output dan outcome bagi nelayan kecil dan tradisional," tulis Wasekjen KNTI Niko Amrullah dalam siaran pers, Jumat (28/4/2017).
Niko menambahkan persentase kredit macet (NPL) pada UMKM sektor perikanan menunjukkan penaikan, yakni dari 3,77% pada 2014 menjadi 4,05% pada 2015. Lantas, naik lagi hingga menjadi 4,40% pada 2016. Kondisi ini menunjukkan kelesuan kinerja UMKM sektor perikanan, yang tak lain halnya membutuhkan peningkatan kapasitas SDM dan juga pasar yang berkeadilan, sebagaimana diamanatkan dalam UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
Menurut Niko, ada tiga aspek yang perlu menjadi perhatian pemerintah dalam membangun dan memberdayakan masyarakat pesisir, khususnya nelayan.
Pertama, peningkatan kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia. Aspek ini mengedepankan pemenuhan pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat pesisir. Kedua, penguatan ekonomi lokal, bahwa kelembagaan ekonomi seperti koperasi dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) menjadi katalisator pemberdayaan ekonomi masyarakat.
"Terakhir, bahwa perlunya menghormati bahkan menguatkan budaya dan kearifan lokal sebagai bentuk pembangunan partisipatif", kata Niko.