Kabar24.com, JAKARTA—Proses penyadapan dalam revisi Undang-Undang No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme harus tetap dilakukan berdasarkan putusan pengadilan.
Supriyadi Widodo Eddyono, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), mengatakan draf revisi UU No. 15/2003 menghilangkan pengaturan proses penyadapan berdasarkan putusan pengadilan. Hal itu bertentangan dengan prinsip fair trial dalam proses penegakan hukum di dalam negeri.
“Penyadapan dalam revisi UU tersebut seharusnya dilakukan dalam konteks penegakan hukum, bukan untuk kepentingan intelijen, sehingga mekanismenya harus berdasarkan prinsip fair trial,” katanya, Rabu (5/4).
Supriyadi menuturkan selama ini pengaturan proses penyadapan telah dilakukan dengan baik, karena baru dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan negeri untuk jangka waktu paling lama setahun.
Proses itu pun harus dilaporkan atau dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik yang melakukan proses penyadapan tersebut. Sayangnya, draf revisi UU No. 15/2003 justru menghilangkannya, sehingga rentan terhadap penyalahgunaan.
“Proses penyadapan yang dilakukan tanpa melalui mekanisme izin Ketua Pengadilan sangat berpotensi disalahgunakan, dan melanggar hak privasi warga negara,” ujarnya.
Dia juga menyebutkan Izin pengadilan memiliki peran penting dalam proses penyadapan yang dilakukan, karena nantinya hasil penyadapan dapat dijadikan alat bukti. Pasalnya, penyadapan dapat dikategorikan sebagai upaya paksa yang dilakukan kepada warga negara.