Kabar24.com, JAKARTA-- Mantan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas meminta adanya campur tangan publik dalam pengawasan terhadap Mahkamah Konstitusi pasca insiden tangap tangan hakim MK Patrialis Akbar oleh KPK.
“Itu bukti bahwa kualitas dan proses pengawasan internal MK sudah saatnya dilakukan perubahan dan sudah tidak bisa lagi menjadi kewenangan otonom MK saja. Sudah harus melibatkan unsur publik, baik tentang sistem aturan maupun pengawasan internal. Ternyata sudah 2 kali bobol kan,” ujarnya di Gedung KPK, Senin (30/1).
Pengawasan itu, lanjutnya, tak cukup dilakukan oleh Komisi Yudisial selaku lembaga pengawas perilaku hakim namun juga perlu adanya pengawasan dari masyarakat.
Busyro memandang, apa yang dilakukan oleh Patrialis sebagai penerima suap atas putusan judicial review UU 41/2014 adalah suatu penistaan terhadap UUD mengingat Mahkamah Konstitusi selaku memiliki kewenangan dalam memutuskan perkara UU.
Sebelumnya, berkaca pada kasus Patrialis, mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki memandang perlu adanya pembenahan dalam sistem rekrutmen hakim MK.
Pembenahan itu menyusul dengan adanya pertanyaan siapa yang akan menggantikan posisi Patrialis di MK.
“Pemerintah dan DPR perlu menyiapkan sistem rekrutmen yang transparan dan akuntabel. Tak boleh lagi rekrutmen tertutup,” katanya.
Tak hanya itu, sistem rekrutmen yang terbuka juga perlu diiringi pengawasan yang efektif baik dari pihak internal maupun eksternal seperti pengawasan dari KY.
Dia tak membantah jika pasca KPK menangkap Patrialis, lembaga anti rasuah itu mulai memperhatika pola rekrutmen di MK dimana saat itu, Patrialis menjadi hakim MK atas penunjukan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan sempat menuai polemik.
Senada, secara terpisah, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly juga menuturkan jika Presiden akan membentuk tim seleksi secara terbuka dan transparan.
Namun, dia mengatakan jika sampai saat ini belum ada nama yang diusulkan untuk menjadi pengganti Patrialis. “Belum, nanti MK kasih surat proses ke Pak Presiden,” ujar Yasonna.
Seperti yang diketahui, KPK menangkap tangan Patrialis pada Rabu malam (25/1).
Patrialis yang juga merupakan politisi Partai Amanat Nasional diduga telah menerima suap dari seorang pengusaha impor daging dengan inisial BHR yang merujuk pada sosok Basuki Hariman melalui seseorang berinisial KM yang merupakan pengusaha kecil sekaligus teman dari Patrialis.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menuturkan BHR selaku pihak swasta disebutsebut memiliki 20 perusahaan yang bergerak di bidang impor daging.
Suap tersebut berkaitan dengan putusan dalam judicial review Undang-undang No. 41/2014 tentang Perubahan Atas UU No. 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
“PAK diduga menerima hadiah US$20.000 dan 200.000 dolar Singapura. Dalam kegiatan ini tim mengamankan dokumen pembukuan perusahaan dan voucher pembelian mata uang asing dan draf putusan perkara,” ucapnya.
Terkait dengan UU No. 41/2014, ada empat pasal yang diuji materi yakni Pasal 26C ayat 1, Pasal 36C ayat 3, Pasal 36D ayat 1, dan Pasal 36E ayat 1.
Dalam situs MK tertulis pemohon uji materi yakni Teguh Boediyana, Mangku Sitepu, dan Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI). Persidangan uji materi UU itu pun sudah berlangsung enam kali.
Sidang pertama digelar pada 5 November 2015 dengan nomor pokok perkara 129/PUU-XIII/2015. Sidang ke-6 dengan agenda mendengarkan keterangan dan ahli dari pemohon berlangsung pada 12 Mei 2016.
Bersamaan dengan tangkap tangan itu, tim penyidik KPK juga menyita beberaap dokumen, voucher penukaran mata uang serta hasil putusan UU itu.
Seperti yang diketahui, Patrialis merupakan hakim kedua dari Mahkamah Konstitusi yang dicokok KPK setelah Akil Mochtar.