Bisnis.com, JAKARTA - PT Sumatera Persada Energi mengakui berstatus pailit. Perusahaan telah merelakan aset-asetnya diurus oeh tim kurator.
Proses eksekusi ini sesuai dengan putusan perkara yang terdaftar dengan No. 14/Pdt.Sus-Pembatalan/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst. Putusan tersebut mengabulkan permohonan pembatalan perjanjian perdamaian yang diajukan PT Bank CIMB Niaga Tbk. terhadap PT Sumatera Persada Energi (SPE).
Adapun, SPE pernah menjalankan restrukturisasi utang pada 2014 dan sedang menjalani proses serupa pada 2016.
Presiden Direktur PT Sumatera Persada Energi Ramyadjie P. Wahyudi mengakui perusahaan sekarang dalam masa pailit.
Hal ini terlepas dari kasus yang juga menjeratnya pada proses restrukturisasi utang yang terdaftar dengan No. 107/Pdt.Sus-PKPU/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst. Perkara tersebut harus ditunda untuk menunggu putusan perkara pembatalan perdamaian.
“Kami fokus dulu dengan perkara ini. Kami menunggu kurator untuk mengurus aset kami.” Katanya usai rapat kreditur perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (9/1/2017).
Dia menambahkan pihaknya belum dapat membeberkan aset apa saja yang akan diserahkan. Adapun seluruh pengurusan aset akan diserahkan kepada kurator yang berwenang.
Awalnya, SPE menyayangkan putusan pembatalan perdamaian tersebut. Pihaknya menilai seharusnya majelis hakim dapat memepertimbangkan untuk memberi kelonggaran waktu selama 30 hari. Pasalnya, perusahan masih berada dalam proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).
Kuasa hukum PT CIMB Niaga Tbk, Swandy Halim selaku pemohon pailit mengatakan pemohon sama sekali tidak menyatakan keberatan pada sidang kreditur. Dia mengungkapkan PT SPE tidak seharusnya mencampuradukkan permasalahan pailit yang telah diputus ini dengan perkara PKPU yang tengah berjalan.
“Selama rapat kreditur sih tidak ada reaksi keberatan apapun. Semoga terus begini karena proses pembatalan ini kami yang menginisiasi dan mengajukan,” ujarnya.
Swandy menambahkan pembatalan perdamaian tersebut terjadi lantaran termohon tidak melaksanakan kewajibannya kepada pemohon sejak Januari hingga Oktober 2016.
Total tunggakan diklaim mencapai US$2,44 juta. Termohon beralasan penghentian pembayaran disebabkan penurunan harga minyak dunia.
Menanggapi hal tersebut, salah satu tim kurator Tisye E. Yunus menerangkan PT SPE telah mengakui pihaknya pailit. Kendati begitu, perusahaan masih belum memberikan skema pembayaran melalui aset. “Ini masih berlangsung prosesnya. Masih sangat awal, baru rapat perdana,” tuturnya.
Dia menyatakan bahwa debitur dan kreditur bersikap kooperatif dalam forum rapat kreditur. Kurator akan mengikuti apapun skema yang diberikan oleh debitur. Intinya, pihaknya akan memverifikasi seluruh aset debitur. Namun dia belum menerima daftar aset PT SPE.
Seperti diketahui, PT SPE berstatus dalam PKPU sejak 1 September 2014 melalui perkara No. 42/Pdt.Sus-PKPU/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst. Dalam prosesnya, bank berkode saham BNGA telah mengajukan tagihan kepada tim pengurus dan sudah terverifikasi dalam daftar piutang tetap.
Pemohon yang berstatus sebagai kreditur dari SPE mendapatkan tawaran perjanjian perdamaian dengan skema pembayaran. Debitur, melalui proposal perdamaian, akan membayar cicilan utangnya setiap bulan dengan pembayaran terakhir pada 28 April 2020.
Pemohon menyetujui proposal tersebut dan disahkan (homologasi) oleh majelis hakim menjadi perjanjian perdamaian pada 16 Oktober 2014. Dengan ini, termohon telah berjanji dan mengikatkan diri untuk membayar sesuai perjanjian. Namun dalam prosesnya, PT SPE terbukti lalai melakukan kewajiban pembayaran.