Kabar24.com, JAKARTA - Perjanjian perdamaian PT Sumatera Persada Energi resmi dibatalkan dan debitur harus menghadapi kenyataan berstatus dalam keadaan pailit.
Putusan perkara yang terdaftar dengan No. 14/Pdt.Sus-Pembatalan/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst tersebut mengenai permohonan pembatalan perjanjian perdamaian yang diajukan PT Bank CIMB Niaga Tbk. terhadap PT Sumatera Persada Energi (SPE). Adapun, SPE pernah menjalankan restrukturisasi utang pada 2014 dan sedang menjalani proses serupa pada 2016.
Ketua majelis hakim Titik Tedjaningsih mengatakan pemohon berhasil membuktikan dalil permohonannya, sedangkan termohon tidak dapat membuktikan dalil bantahannya. Padahal, beban pembuktian ada pada termohon.
"Menyatakan termohon berstatus pailit dengan segala akibat hukumnya," kata Titik dalam amar putusan yang dibacakan, Kamis (15/12/2016).
Berdasarkan Pasal 170 ayat (1) Undang-undang No. 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), kreditur dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang telah disahkan apabila debitur lalai memenuhi isi perdamaian tersebut.
Adapun, dalam ayat (2), debitur wajib membuktikan bahwa perdamaian telah dipenuhi. Menurutnya, debitur menjadi pihak yang diberikan beban pembuktian dalam perkara ini.
Berdasarkan bukti yang tidak dibantah termohon, SPE berstatus dalam PKPU)sejak 1 September 2014 melalui perkara No. 42/Pdt.Sus-PKPU/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst. Dalam prosesnya, pemohon telah mengajukan tagihan kepada tim pengurus dan sudah terverifikasi dalam daftar piutang tetap.
Pemohon yang berstatus sebagai kreditur dari SPE mendapatkan tawaran perjanjian perdamaian dengan skema pembayaran. Debitur, melalui proposal perdamaian, akan membayar cicilan utangnya setiap bulan dengan pembayaran terakhir pada 28 April 2020.
Pemohon menyetujui proposal tersebut dan disahkan (homologasi) oleh majelis hakim menjadi perjanjian perdamaian pada 16 Oktober 2014. Dengan ini, termohon telah berjanji dan mengikatkan diri untuk membayar sesuai perjanjian.
Dalam perkembangannya, termohon tidak melaksanakan kewajibannya sejak Januari--Oktober 2016 dengan total tunggakan sebesar US$2,44 juta. Termohon beralasan penghentian pembayaran disebabkan penurunan harga minyak dunia.
Majelis hakim tidak menemukan bukti yang diajukan oleh termohon bahwa dirinya tidak lalai. Dengan demikian, termohon dinilai tidak dapat membuktikan dalil bantahannya.
Termohon, lanjutnya, sempat meminta diberikan adanya kelonggaran untuk memenuhi kewajibannya selama 30 hari sesuai Pasal 170 ayat (3) UU Kepailitan. Namun, pengadilan dinilai tidak wajib memberikan kelonggaran tersebut.
Titik beranggapan termohon tidak menunjukkan adanya iktikad baik, kendati telah terbukti lalai dalam menjalankan perjanjian perdamaian. Selain termohon dinyatakan lalai, majelis hakim juga menyatakan batal dan tidak mengikat perjanjian perdamaian SPE.
Dalam Pasal 171 UU Kepailitan, tuntutan pembatalan perdamaian wajib diajukan dan ditetapkan dengan cara yang sama untuk permohonan pernyataan pailit. Adapun, dalam Pasal 291 ayat (2), dalam putusan pengadilan yang membatalkan perdamaian debitur juga harus dinyatakan pailit.
Majelis hakim juga menolak eksepsi yang diajukan oleh termohon bahwa permohonan pembatalan perdamaian terlalu dini atau prematur. Dalam perkara niaga tidak dikenal adanya eksepsi kecuali mengenai kewenangan mengadili.
Petitum termohon mengenai permintaan insolvensi juga ditolak oleh majelis hakim. Alasannya, majelis hakim pemutus tidak berwenang menetapkan status insolvensi karena menjadi kewenangan hakim pengawas.
Sehubungan dengan putusan pailit, Titik mengangkat Tisye E. Yunus dan Albert Jen Harris sebagai tim kurator, serta menunjuk Wiwik Suhartono selaku hakim pengawas.
Dalam kesempatan yang sama, kuasa hukum pemohon Swandy Halim mengapresiasi putusan majelis hakim. Menurutnya, itu sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. "Kenyataannya termohon telah lalai dalam menjalankan perjanjian perdamaian, sehingga konsekuensinya adalah pailit," kata Swandy.
Sementara itu, kuasa hukum termohon Dida Hardiansyah menyayangkan putusan tersebut. Majelis hakim seharusnya bisa memberikan kelonggaran waktu selama 30 hari dulu kepada kliennya.
"Putusan majelis hakim seperti kacamata kuda karena tidak memberikan pertimbangan bahwa saat ini kami masih dalam proses PKPU," ujar Dida seusai persidangan.
SPE sedang menjalani proses restrukturisasi utang dengan No. 107/Pdt.Sus-PKPU/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst. yang harus ditunda untuk menunggu putusan perkara pembatalan perdamaian.
Debitur mengusulkan adanya perpanjangan selama 60 hari dan telah disetujui secara aklamasi oleh para kreditur.Perpanjangan tersebut akan digunakan untuk menunggu hasil putusan perkara pembatalan perdamaian karena akan memengaruhi proses perkara No. 107.