Kabar24.com, JAKARTA—Adanya jual beli pengaruh rupanya masih menjadi kendala dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Salah satu modus dalam jual beli pengaruh adalah dalam memperoleh kenaikan jabatan seperti yang terjadi pada kasus Bupati Klaten Sri Hartini.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menjelaskan munculnya celah tersebut disebabkan karena sistem yang kurang detil.
“Itulah yang saya maksud kita selama ini tidak detil dalam melaksanakan kontrol atau kendali manajemen, dibuat sistem kayak apa saja kalau niat jahat nya dominan ya akan lanjut transaksional,” kata Saut kepada Bisnis.com, Rabu (4/1/2016).
Saut mengatakan jual beli pengaruh sebenarnya bisa diatasi jika sistem perekrutan SDM bisa lebih fair yang didukung dengan sistem yang detil dan tata kelola rekrutmen diserahkan pada konsultan yang berintegritas.
Dia menambahkan jika korupsi khususnya berupa suap bisa diatasi jika pemerintah memiliki SOP yang sangat detil dalam setiap proses rekrut kenaikan pangkat dan penempatan atau promosi . “Karena ini bagian dari komponen integritas SDM dalam jangka panjang,” imbuhnya.
Ke depan, Wakil Ketua KPK itu mengatakan jika pihaknya akan menjalin kerjasama dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk membahas pembenahan sistem baik dalam perekrutan aparatur negara maupun promosi kenaikan jabatan.
“Iya kami akan berupaya [membahas] detil , saya ada ketemu Menpan RB belum lama ini bulan lalu sudah membahas beberapa hal tentang membangun integritas PNS dan pekerja pemerintah yang berada dibawah tanggung jawab Menpan RB,” tukasnya.
Secara terpisah Julius Ibrani dari YLBHI menyarankan KPK agar juga mengakomodir trading in influence atau jual beli pengaruh dalam revisi UU Tipikor.
Ada beberapa kendala yang dihadapi KPK. Pertama, belum ada ketentuan normatif yang diatur dalam KUHP maupun UU Pemberantasan Tipikor di Indonesia. Kedua, pembuktian untuk keuntungan tidak berwujud sangat sulit dibuktikan.
"Oleh karena itu, KPK sepatutnya mendorong revisi UU Tipikor yang mengakomodasi ketentuan Trading in influence,” ujar Julius.
Menurutnya, saat ini banyak sekali contoh kasus korupsi yang melibatkan trading in influence seperti dalam korupsi berdimensi politik dinasti layaknnya yang terjadi di Banten dan Klaten.
Dia mengatakan Indonesia sudah punya UU No. 28/1999 yang juga bahas soal nepotisme dan kolusi, tapi ini belum pernah diimplementasikan KPK dalam penuntutan, padahal ada norma pidana juga yang terkait trading in influence.
“Nuansa nepotisme, kolusi, trading in influence ini belum banyak diangkat ke publik. Padahal yang dilawan adalah kultur lobi-lobi yang terlanjur mengakar di Indonesia,”imbuhnya.
Dia berharap jika sudah ada norma atau peraturan dalam menindak korupsi bermodus trading in influence maka KPK tidak usah ragu dalam mengusut kasus-kasus tersebut.
“Itu akar masalah di KPK, yang bikin KPK jadi super hati-hati bahkan ragu-ragu untuk mengusut kasus-kasus trading in influence. Jika norma UU sudah ada dan kuat, maka bisa didorong lewat program hukum dan kebijakan juga,” tukasnya.
Sepanjang 2016, KPK telah mengatasi dua kasus korupsi bermoduskan jual beli pengaruh yakni kasus kuota gula impor yang melibatkan mantan Ketua DPR Irman Gusman dan kasus suap jabatan yang melibatkan Bupati Klaten.