Bisnis.com, JAKARTA - Pasca penetapan ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana suap kuota gula impor di Sumatra Barat, publik pun mulai kehilangan kepercayaannya kepada lembaga yang nyaris disebut sebagai antitesa dari DPR.
Pasalnya, ini merupakan pertama kalinya seorang anggota DPD ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Tak tanggung-tanggung, sosok yang menjadi tahanan KPK tersebut adalah orang nomor satu di DPD.
Melihat hal tersebut, nasib kewenangan DPD pun mulai dipertanyakan setelah sebelumnya DPD meminta agar perlemen termuda itu diberikan kewenangan tambahan layaknya DPR baik dari sisi pengawasan maupun budgeting.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengungkapkan sebaiknya saat ini DPD jangan terlalu memaksa untuk meminta tambahan kewenangan.
“Saya kira, kewenangan DPD bisa hilang sama sekali atau tidak bisa mendapatkan dukungan dari publik sama sekali, jika disaat yang sama DPD melalui Irman Gusman ini gagal meyakinkan publik bahwa lembaga ini layak didukung dan diperkuat,” ujar Lucius kepada Bisnis.
Dia menambahkan, dengan tidak ada kewenangan saja DPD bisa menciptakan wewenangnya sendiri untuk mendapatkan keuntungan, apalagi kalau diberi kewenangan. “Jangan-jangan yang terjadi nanti mereka lomba dengan DPR mencari keuntungan,” tambahnya.
Peneliti Formappi ini melihat momentum Irman Gusman ini momentum paling buruk di DPD, sehingga dari kasus tersebut DPD dituntut untuk menciptakan langkah yang tepat yaitu dengan langsung memecat Irman Gusman baik dari jabatan ketua maupun dari keanggotaan DPD.
“Setidaknya, itu sedikit bisa mengembalikan kepercayaan publik, bahwa masih ada harapan bagi masyarakat untuk percaya pada wakil rakyat,” tukasnya.
Sebaliknya, pernyataan berbeda dilontarkan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri yang mengungkapkan potensi DPD untuk mendapatkan kewenangan tambahan tidak akan musnah.
“Kasus pak Irman ini kan dua hal yang berbeda, memang kami sependapat DPD tetap diberi kewenangan supaya bisa mengimbangi DPR,” ujar Febri.
Senada dengan Febri, peneliti politik LIPI Siti Zuhroh menyarankan agar Irman mundur dari posisinya sebagai pimpinan DPD untuk menyelamatkan nama lembaganya.
“Pak IG mundur, begitu tersangka mundur, jadi itu adalah jiwa satria dari seorang pemimpin,”
Paling tidak dengan mundurnya Irma dari kursi DPD 1 membuat publik tidak terus menerus mengaitkan kasusnya dengan jabatannya di DPD.
“Karena institusi yang akan tersandera dengan kondisi pak IG saat ini,” tambah Siti.
Sebelumnya, anggota DPD Komite III Fahira Idris mengungkapkan kasus yang menyeret nama ketua DPD tidak akan menyurutkan langkah lembaga muda di parlemen itu untuk memperkuat lembaganya melalui amandemen terbatas UUD 1945 dalam waktu dekat ini.
Pasalnya, Fahira menganggap, kasus yang menimpa IG murni urusan pribadi dan tidak ada sangkut pautnya dengan kewenangan DPD sebagai lembaga.
“Upaya penguatan DPD tidak akan pernah surut. Kasus ini tidak akan menghalangi tekad kami memperkuat DPD, karena ini amanat reformasi. Tidak bijak dan rasional jika muncul wacana pembubaran DPD akibat kasus ini, karena jika setiap penyelenggara negara korupsi, kemudian lembaganya dibubarkan, republik ini juga sudah bubar. DPD tidak punya kewenangan budgeting apalagi soal kuota gula impor. Ini murni pribadi," ujar Fahira.
Penguatan DPD memang menjadi wacana yang tidak ada habisnya karena tidak pernah terealisasi dan diharapkan menemukan momentumnya pada amandemen terbatas nanti.
Penguatan DPD pun, menurutnya, bukan lagi sebuah keharusan tetapi sudah menjadi sebuah kebutuhan.
Dirinya memahami setelah kejadian ini tingkat kepercayaan publik terhadap DPD pasti terganggu, tetapi dengan berjalannya waktu, publik pasti bisa mengerti bahwa kejadian ini murni urusan pribadi atau masalah perorangan. Kejadian ini, lanjutnya, pasti menjadi pelajaran dan evaluasi bagi DPD baik secara pribadi-pribadi maupun secara institusi.