Bisnis.com, JAKARTA—Pemerintah harus segera membentuk tim independen, untuk menyelidiki sejumlah dugaan proses persidangan yang tidak adil, dan cacat prosedural dalam perkara. Supriyadi Widodo Eddyono, Direktur Eksekutif Institute dof Criminal Juctice Reform, mengatakan pihaknya menemukan dugaan proses persidangan yang tidak adil dalam beberapa kasus yang menjaguhkan hukuman mati kepada para terdakwa. “Ada beberapa kasus dengan vonis mati yang diduga proses persidangannya tidak berjalan dengan adil,” katanya, Minggu (24/7). Supriyadi menuturkan pemerintah harus segera membentuk tim independen untuk mendalami dugaan proses persidangan yang tidak adil.
Tim tersebut nantinya juga harus meninjau seluruh perkara hukum yang menjatuhkan vonis mati. Menurutnya, beberapa kasus dengan vonis mati yang dimelalui proses peridangan yang tidak adil dan cacat prosedural, adalah Kasus Yusman Telaumbanua yang mengaku lahir pada 1996, tetapi disebut penyidik lahir pada 1993.
Apabila Yusman benar lahir pada 1996, maka usianya belum menginjak 18 tahun saat melakukan kejahatan. Dirinya juga tidak mengajukan banding saat mendapat vonis mati, karena pengacaranya tidak menginformasikan haknya dengan baik. Kasus selanjutnya adalah persidangan Marry Jane Veloso yang lolos dari eksekusi mati pada menit-menit terakhir, sehingga dapat memberikan kesaksian dalam persidangan orang yang menipunya untuk menjadi kurir narkoba.
Kemudian kasuswarga negara Pakistan, Zulfiqar Ali, yang ditangkap atas kepemilikan heroin. Zulfiqar yang hanya memahami sedikit bahasa Inggris, mendapat bantuan penerjemah yang terbatas. Selain itu, Zulfiqar juga selalu mendapat terjemahaan ke dalam bahasa Inggris selama proses persindangan, meskipun dirinya hanya memahami sedikit.
Ginong Pratidina dan Gurdip Singh yang menjadi saksi atas kasus Zulfikar juga diketahui telah mencabut BAP, karena adanya tekanan fisik, serta mental selama penyidikan.