Bisnis.com, JAKARTA - Pada sidang Gugatan Izin Reklamasi Pulau F, I dan K Teluk Jakarta, para penggugat mengajukan bukti yang menunjukkan adanya potensi kerugian yang mencapai lebih dari Rp178,1 milliar.
Ketua KNTI Bidang Hukum dan Pembelaan Nelayan Marthin Hadiwinata mengatakan kerugian tersebut dapat lebih parah jika terjadi gangguan terhadap empat pembangkit listrik yang ada di sepanjang Teluk Jakarta dengan kerugian perjam mencapai Rp126,1 milliar per jam.
"Penghitungan kerugian potensial tersebut dilihat dari empat komponen utama yaitu hilangnya wilayah kegiatan perikanan, meningkatnya potensi risiko banjir, hilangnya habitat mangrove, dan menurunnya kapasitas pembangkit listrik," ujarnya seperti siaran pers yang diterima, Rabu (29/6/2016) malam.
Menurutnya, hilangnya wilayah kegiatan perikanan (fishing ground) seluas 586,3 ha juga berdampak kepada kehilangan sumber penghidupan dan upah perikanan yang mencapai US$1,3 juta (Rp16,9 milliar) setiap tahun.
Meningkatnya potensi risiko banjir akan menambah kerugian akibat banjir yang diperkirakan mencapai US$9,7 juta (Rp126,1 milliar) per tahun.
"Hilangnya habitat mangrove yang kemudian menghilangkan jasa-jasa ekosistem mangrove yang penting, diperkiraan kerugian mencapai US$2,7 Juta (Rp35,1 milliar)," ujarnya.
Terakhir, menurutnya, kapasitas pembangkit listrik, diperkirakan kerugian yang akan terjadi mencapai US$26,78 juta per jam (Rp126,1 milliar) yang diperoleh apabila kegiatan pelayanan kelistrikan bagi Muara Karang dan Muara Tawar terganggu yang melayani hingga 53% dari kebutuhan listrik Jakarta.
"Apabila diakumulasikan setiap tahunnya maka kerugian akibat reklamasi sangat besar," ujarnya.
Penilaian kerugian tersebut didapat dari dokumen Jakarta Bay Recommendation Paper diterbitkan sekitar Oktober 2012.
Dokumen tersebut dituliskan oleh Danish Hidraulic Institute (DHI) Water & Environment sebuah lembaga konsultan teknik asal Denmark yang telah berpengalaman melakukan jasa konsultasi terkait pengelolaan pesisir dan laut.
DHI Water & Environmen melakukan penilaian tersebut untuk membantu Kementerian Lingkungan Hidup dalam melakukan penilaian terhadap Teluk Jakarta.
Namun sangat disayangkan, penilaian komprehensif yang dilakukan oleh DHI tersebut tidak pernah menjadi pertimbangan untuk menghentikan proyek reklamasi Jakarta.
Para Penggugat mengajukan bukti potensi kerugian atas reklamasi karena dokumen tersebut telah melakukan penilaian secara komprehensif terhadap proyek reklamasi 17 pulau yang sedang dipaksakan berjalan di Teluk Jakarta.
"Sehingga sudah seharusnya SK reklamasi yang dikeluarkan oleh Gubernur DKI Jakarta harus dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara sebab membawa kerugian yang lebih besar dibandingkan dengan pembangunan pulau-pulau reklamasi," ujarnya.