Kabar24.com, JAKARTA - Jaksa penuntut umum dari KPK meminta hakim mengabaikan permintaan Muhammad Nazaruddin untuk membuka blokir atas rekening senilai sekitar Rp600 miliar milik mantan Bendahara Umum Partai Demokrat tersebut.
"Pada sidang ini, minggu lalu setelah pembacaan tuntutan penasihat hukum mengajukan permintaan pembukaan blokir dan yang mulia majelis meminta pendapat dari jaksa. Kami menyampaikannya hari ini secara tertulis dan pada pokoknya meminta agar permintaan itu dikesampingikan karena aset yang diminta masuk dalam barang bukti dalam perkara ini dan seharusnya diputus dalam perkara ini," kata JPU KPK Kresno Anto Wibowo dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Rabu (18/5/2016).
Dalam perkara ini Nazaruddin dituntut 7 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan karena melakukan tindak pidana korupsi yaitu menerima Rp40,37 miliar dari PT Duta Graha Indah dan PT Nindya Karya dari sejumlah proyek pemerintah pada 2010 dan melakukan tindak pidana pencucian uang sebesar Rp627,86 miliar pada periode 2010-2014 serta Rp283,6 miliar pada periode 2009-2010.
Dalam surat itu disebutkan bahwa penolakan karena aset-aset yang diminta untuk dibuka blokirnya masuk dalam barang bukti tindak pidana.
"Bahwa setelah kami membaca, meneliti dan mempelajari secara seksama terhadap sejumlah aset yang dimintakan penetapan untuk dibuka blokir atau pun pengangkatan sita dan pengembalian tersebut, maka kami berpendapat agar majelis hakim menolak dan mengesampingkan permohonan dimaksud dikarenakan aset-aset yang dimohonkan tersebut merupakan barang bukti dalam perkara a quo yang telah kami buktikan di persidangan ini sebagai 'harta kekayaan' yang dilakukan pencucian uang oleh terdakwa Muhammad Nazaruddin dengan mempergunakan nama perusahaan-perusahaan Permai Grup dan atau mempergunakan nama orang lain yang berada di bawah kendali terdakwa dengan maksud untuk menyamarkan atau pun menyembunyikan asal-usulnya sebagai hasil dari "tindak pidana korupsi" yang dilakukannya," demikian tertulis dalam surat tanggapan tersebut.
Menurut jaksa, permohonan tersebut justru menunjukkan fakta terdakwa Muhammad Nazaruddin merupakan pemilik sesungguhnya dari sejumlah aset yang diatasnamakan pihak lain tersebut (beneficial owner) sehingga mempertegas terbuktinya dakwaan tindak pidana pencucian uang hasil kejahatan korupsi yang dilakukan Nazaruddin.
"Berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan di atas, kami berpendapat bahwa permohonan tersebut haruslah ditolak dan dikesampingkan oleh majelis hakim dan selanjutnya terhadap aset-aset yang merupakan barang bukti tersebut barulah dipertimbangkan dan diputus bersamaan dalam putusan perkara atas nama terdakwa Muhammad Nazaruddin," demikian tertulis.
Jaksa meminta agar majelis hakim merampas untuk negara harta Nazaruddin senilai total sekitar Rp600 miliar.
"Estimasi (harta yang diminta untuk dirampas) sekitar Rp600 miliar, jadi dari saham sekitar Rp300 miliar. Kemudian dari uang yang disita itu juga sekitar Rp100 miliar belum dari aset yang dari properti seperti rumah, pabrik, itu kan nilainya cukup besar," kata Jaksa Kresno pada Rabu (11/5/2016).
Aset terbesar yang dirampas berasal dari saham dan properti.
"Kalau aset sudah diambil Rp600 miliar dari total 1 triliun, sudah cukup lumayan meski ada aset yang tidak bisa kita ambil karena disebut ada 'gatekeeper' (penjaga) di Singapura seperti Gareth Lim dan Lim Keng Seng. Kami sudah membuat MLA (mutual legal assistance) dan putusan nanti yang akan digunakan aparat penegak hukum di Singapura untuk melacak," tambah Kresno.
Menurut Kresno, setidaknya Nazaruddin melalui anak-anak perusahaan Permai Grup membeli saham Garuda hingga 6 juta dolar.
"Kalau cerita yang kita ketahui di sini 6 juta dolar Singapura, berdasarkan fakta persidangan," tegas Kresno.
Sidang hari ini seharusnya mengagendakan pembacaan nota pembelaan (pledoi) Nazaruddin namun pembacaan ditunda dan akan dilanjutkan pada Rabu, 25 Mei 2016 pukul 13.00 WIB.