Bisnis.com, JAKARTA - Mantan bendahara umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin mengakui bahwa Permai Grup yang merupakan perusahaan yang dimilikinya menargetkan 40 persen keuntungan dari proyek-proyek pemerintah.
"Dari awal mas Anas udah sampaikan (40%) jadi saya tinggal ikuti itu saja," kata Nazaruddin dalam sidang pemeriksaan terdakwa di pengadilan negeri Jakarta Pusat, Rabu (27/4/2016).
Dalam perkara ini, Nazaruddin didakwa menerima Rp40,37 miliar dari PT Duta Graha Indah dan PT Nindya Karya terkait proyek pemerintah tahun 2010, melakukan tindak pidana pencucian uang sebesar Rp627,86 miliar pada periode 2010-2014 dan Rp83,6 miliar pada periode 2009-2010.
BACA: Korupsi Nazaruddin: Begini Cara Nazar Investasikan Dana Fee Proyek Pemerintah
Di surat dakwaan disebutkan bahwa sumber penerimaan keuangan Permai Grup juga berasal dari keuntungan perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Permai Grup dalam mengerjakan berbagai proyek yang dibiayai dari anggaran pemerintah tahun 2009, yang diperoleh dengan cara Nazaruddin menggiring anggarannya di DPR-RI dan mengatur proses pelelangannya sehingga perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Permai Grup tersebut ditunjuk sebagai pemenang (rekanan penyedia barang/jasa), dengan total keuntungan kurang lebih sebesar 40% dari total nilai proyek yang dikerjakan yaitu Rp1,884 triliun.
Selain itu pada periode September 2009-Oktober 2010, Nazaruddin menerima uang dari pihak-pihak lain di antaranya dari PT Adhi Karya, PT Duta Graha Indah (PT DGI) dan PT Pembangunan Perumahan (PT PP), yang merupakan imbalan (fee) karena telah mengupayakan proyek-proyek pemerintah tahun 2009, dengan jumlah penerimaan kurang lebih sebesar Rp76,536 miliar.
BACA JUGA: Sidang Nazaruddin: Nama Ibas Kembali Disebut
"Saya posisinya sebagai bendahara yang mengurusi 14 kantong usaha Permai Grup, Mahfud Grup, Munadi Grup, Pasha Grup, Fahmi Grup, itu terbagi di masing-masing sektor. Saya hanya menanyakan uang 'commitment fee' untuk direalisasikan dan tetap ditaruh di tempat mereka. Selanjutnya saya juga sebagai bendahara fraksi untuk mengkoordinir urusan uang di fraksi, sedangkan sebagai bendahara umum (partai Demokrat) saya juga mengumpulkan uang-uang yang diminta mas Anas," tambah Nazaruddin.
Nazaruddin mengaku setiap gaji anggota DPR dipotong Rp5 juta per bulan dan dimasukkan ke rekening dirinya sebagai bendahara umum partai.
BACA: Korupsi Nazaruddin: Begini Cara Nazar Investasikan Dana Fee Proyek Pemerintah
"Kalau keuntungan Permai Grup itu 20% adalah keuntungan kotor lalu nanti disalurkan 5%-7% dari proyek ke DPR jadi keuntungan bersih itu sebesar 3%-7% setelah dipotong operasional gaji, biaya ke DPR, memberikan kepada panitia pengadaan," jelas Nazaruddin.
Permai Grup di bawah kendali Nazaruddin juga masih harus memberikan 2-3 persen kepada perusahaan yang dipinjam benderanya untuk mengikuti tender proyek-proyek pemerintah tersebut.
Salah satu contoh orang yang mendapat jatah dari keuntungan proyek Permai Grup adalah mantan Ketua Fraksi Partai Demokrat Jafar Hafzah.
"Rp1,75 miliar itu diterima oleh staf ahli Jafar Hafzah terkait proyek 2010 tapi baru perjanjian antara Jafar Hafzah dan mas Anas. Saat itu Jafar Hafzah baru menjadi ketua fraksi jadi minta mobil Land Cruiser," ungkap Nazaruddin.
Seluruh keuntungan perusahaan, menurut Nazaruddin, digunakan untuk mengumpulkan uang bagi Anas yang disebut Nazaruddin ingin menjadi presiden.
Sidang akan dilanjutkan pada 11 Mei 2016 dengan agenda pembacaan tuntutan pidana.
Nazaruddin didakwa berdasarkan pasal 12 huruf b UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Ia juga didakwa berdasarkan pasal 3 atau pasal 4 UU No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP mengenai tindak pidana pencucian uang aktif dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun dan denda Rp10 miliar.