Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Informasi Pusat mengimbau proses kajian dan evaluasi proyek reklamasi Teluk Jakarta oleh Komite Gabungan dapat dilakukan secara terbuka bagi publik.
Komisioner Komisi Informasi Pusat RepubliK Indonesia (KIP) Yhannu Setyawan mengatakan proses kajian dan evaluasi terhadap proyek reklamasi Teluk Jakarta oleh Komite Gabungan yang terdiri dari perwakilan Kemenko Maritim, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Pemprov DKI Jakarta harus dilakukan secara terbuka, partisipatif, dan mengutamakan kepentingan publik.
Dia menyatakan, adanya keterbukaan publik sangat penting untuk memastikan agar keputusan yang akan diambil pascapenghentian sementara (moratorium) reklamasi bersifat objektif, dan bukan merupakan keputusan politis yang hanya menguntungkan para pemilik modal serta mengabaikan kepentingan masyarakat umum.
Dia menilai, munculnya persoalan reklamasi merupakan buntut dari proses pengambilan kebijakan yang tertutup oleh pemerintah dan dewan di DKI Jakarta.
Padahal, kebijakan tersebut sangat berkaitan erat dengan kepentingan masyarakat khususnya tiga ribuan nelayan tradisional yang tak bisa melaut lagi akibat proyek reklamasi.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pun telah menemukan adanya indikasi bahwa proyek reklamasi menyebabkan kerusakan lingkungan dan pelanggaran administrasi perizinan.
Dia menegaskan, pengambilan kebijakan yang tertutup ini, sangat bertentangan dengan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publlik (UU KIP) yang telah menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik (Pasal 3 UU KIP).
"Pemerintah dan dewan di DKI harus melaksanaan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintah yang terbuka agar tidak ada prasangka dan kecurigaan dari masyarakat," kata Yhanu dalam keterangan resmi yang diterima Rabu (20/4/2016).
Seperti diketahui, kebijakan reklamasi diawali dengan dikeluarkannya Keppres Nomor 5/1995 tentang Reklamasi Pantura Jakarta diikuti dengan Perda Nomor 8/1995 yang diduga menabrak RUTR 1985-2005.
Perda Nomor 1/2012 tentang RTRW 2030 yang mengubah Perda Nomor 8/1995, izin prinsip Gubernur Nomor 1290 sampai 1295 tahun 2012, SK Gubernur DKI Nomor 2238/2014 yang berisi izin pelaksanaan reklamasi, dan peraturan terkait lainnya.
Proyek tersebut ditengarai telah dilanjutkan tahap konstruksinya meski tidak melewati konsultasi publik.