Bisnis.com, JAKARTA - Anggota Komisi I DPR Effendi Simbolon menilai pemerintah seperti lepas tangan dalam kasus penyanderaan 10 WNI oleh kelompok milisi Abu Sayyaf.
Pernyataan itu disampaikan menyusul terungkapnya rencana perusahaan tempat 10 WNI tersebut bernaung yang akan membayar uang tebusan kepada kelompok militan itu. Menurutnya, kondisi itu sangat memprihatinkan karena pembayaran tebusan masih bisa dihindari.
"Kita jadi bertanya-bertanya, prihatin, sepertinya urusan ini antara private to private, Dari sisi DPR saya prihatin, apalagi pembayaran uang tebusan masih bisa dihindari," ujarnya, Rabu (6/4/2016).
Menurutnya, sinyal seperti itu menimbulkan tanda tanya apakah itu yang dimaksud negara hadir dalam persoalan tersebut.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Luhut Binsar Panjaitan sebelumnya mengatakan pembayaran itu adalah inisiatif perusahaan. Pernyataan itulah yang kemudian disesalkan Effendi.
Harusnya Indonesia mencontoh Filipina yang turun tangan ketika meminta eksekusi Mary Jane oleh pengadilan Indonesia ditunda. Untuk itu, dia meminta pemerintah menggunakan kekuatannya dalam membebaskan para sandera.
"Harus dikedepankan kedaulatan bangsa kita. Jangan nanti berpikir hal itu akan menganggu pencitraan kalau gagal," ujarnya.
Sebelumnya dilaporkan bahwa awak kapal tunda Brahma 12 disandera kelompok Abu Sayyaf sejak 26 Maret 2016. Pihak penyandera meminta tebusan 50 juta peso atau setara Rp14,2 miliar untuk diserahkan paling lambat 8 April 2016.