Kabar24.com, JAKARTA - Yosefrin Tambunan masih mengenyam bangku sekolah menengah atas, ketika dirinya memutuskan untuk membagi waktu membanting tulang di sebuah perusahaan garmen yang dijalankan oleh pamannya di Surabaya.
Pada usia yang masih hijau, pemuda berdarah Batak tersebut memilih untuk mencari uang dan menggeluti dunia bisnis ketimbang lanjut menimba ilmu di bangku perguruan tinggi. Padahal, sebenarnya keluarganya masih sanggup membiayainya kuliah.
Pria yang akrab disapa Ucok itu menghabiskan hari-harinya mengurusi administrasi di gudang garmen milik pamannya. Tidak jarang, Ucok bekerja sampai larut malam dan terpaksa menginap di tempat kerjanya.
"Semakin lama, saya semakin jarang pulang dan bertemu keluarga. Saya lebih banyak menghabiskan waktu sibuk di tempat kerja. Saya termasuk pegawai muda di kantor saya, jadi saya takut digunjing kalau pulang duluan sementara yang lain masih sibuk," katanya.
Ucok bukanlah satu-satunya pemuda yang memilih atau terpaksa banting setir di dunia bisnis ketimbang mengenyam bangku pendidikan. Jika mengacu pada UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak, pemuda Ucok yang masih berada di bawah usia 18 tahun tergolong masih anak-anak.
Tidak dapat dipungkiri, dunia bisnis di Tanah Air semakin melibatkan peran anak-anak dan remaja. Mulai dari bisnis mikro, kecil, menengah, hingga besar, keterlibatan generasi mudabaik langsung maupun tak langsungtelah menjadi sebuah keniscayaan.
Namun, sayangnya, belum semua pelaku usaha memprioritaskan perlindungan hak anak dalam menjalankan bisnisnya. Campur tangan pemerintah terhadap penegakan hak anak dalam dunia usaha juga masih berada di ranah abu-abu.
Terkait hal tersebut, United Nations Childrens Fund (Unicef) menyoroti Pemerintah Indonesia untuk menegakkan perlindungan anak di dunia bisnis, baik di tempat kerja, di pasar, maupun di tengah masyarakat.
Organisasi yang bernaung di Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tersebut mengkaji bagaimana imbas dari praktik bisnis di Tanah Air terhadap perwujudan hak anak di negara ini. Lini bisnis yang dikaji tidak terkecuali dari skala mikro hingga besar.
Sebab, semua perusahaan baik bisnis keluarga skala kecil maupun perusahaan multinasional skala besarberkontribusi terhadap kesejahteraan anak melalui penciptaan lapangan kerja bagi keluarga mereka atau melalui inisiatif yang bersifat filantropi.
Namun, di sisi lain, Kepala Perwakilan Unicef Indonesia Gunilla Olsson berpendapat perkembangan praktik-praktik bisnis tersebut juga dapat berdampak kurang positif terhadap hak anak-anak di Indonesia.
Unicef mengimbau pengusaha memastikan aktivitas bisnisnya tidak membahayakan anak-anak. Kebijakan pemerintah juga harus memberikan landasarn hukum yang memastikan perlindungan anak dari kemungkinan malapraktik bisnis, tuturnya belum lama ini.
Di sela-sela konferensi di Erasmus Huis Jakarta, Gunilla juga memaparkan sepuluh prinsip hak anak dan dunia usaha yang dikembangkan Unicef bekerja sama dengan organisasi Save the Children dan Global Compact.
Panduan komprehensif ini berisi petunjuk bagi [pelaku] bisnis untuk menghormati dan mendukung hak anak di dunia usaha, pasar, dan masyarakat. Kami berharap prinsip-prinsip ini bisa dimasukkan dalam kerangka nasional dan Rencana Aksi tentang bisnis dan HAM.
Sementara itu, Presiden Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD) Shinta Wijaya Kamdani berpendapat perlindungan hak anak dalam dunia usaha juga penting bagi keberlangsungan sebuah perusahaan pada masa mendatang.
Dia menjelaskan sepertiga populasi dunia saat ini adalah anak-anak. Di Indonesia pun, generasi produktif lebih banyak ketimbang generasi tua. Mereka merupakan calon pemimpin, sekaligus pekerja dan pelanggan dari perusahaan pada masa depan.
Demi tercapainya pembangunan berkelanjutan, [perlindungan hak anak] harus menjadi prioritas dalam upaya-upaya menjaga kesinambungan bisnis. Kami sangat mendukung inisiatif Unicef dan mengimbau para pebisnis untuk menyelaraskan perlindungan anak dengan aktivitas bisnisnya sehari-hari.
Inisiatif Unicef tersebut turut mendapat perhatian Asosiasi Perusahaan Sayang Anak Indonesia (APSAI). Mereka menyarankan agar praktik bisnis mengakomodasi hak dan kebutuhan anak, seperti penyediaan ruang laktasi bagi karyawan menyusui.