Kabar24.com, JAKARTA - Kejaksaan Agung saat ini telah mengajukan permohonan sita eksekusi ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan atas aset Yayasan Supersemar.
Meski begitu, Kejagung menegaskan bahwa beasiswa yang dikeluarkan Yayasan yang didirikan Soeharto itu tidak termasuk dalam daftar sita aset.
“Kemarin kita mengajukan permohonan sita eksekusi berupa rekening, giro, saham, tanah, dan bangunan,” ujar Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Bambang Setyo Wahyudi, Selasa (2/2/2016).
Kejagung saat ini sudah menyiapkan data aset berupa 113 buah rekening, giro, dan deposito.
Selain itu juga ada 2 bidang tanah di Jakarta dan Bogor dengan luas masing-masing 8.000 meter2.
Bambang menyebutkan bahwa salah satu aset bangunan yang disita adalah Gedung Granadi yang terletak di Jalan HR Rasuna Said, Jakarta.
“Ada kendaraan juga 6 unit, mobil,” ujarnya.
Yayasan Supersemar divonis bersalah atas tuduhan penyelewengan dana beasiswa.
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) yayasan tersebut diharuskan membayar denda sebesar Rp4,4 triliun.
Sebelumnya Kuasa Hukum Yayasan Supersemar Bambang Hartono meminta pemerintah dapat dengan bijak melakukan penyitaan aset Yayasan yang didirikan oleh Soeharto ini. Sebab masih ada 7.000 mahasiswa yang saat ini masih aktif menerima beasiswa.
Kasus Yayasan Supersemar dimulai pada 2007, ketika pemerintah melalui Kejagung menggugat Soeharto dan yayasannya terkait dugaan penyelewangan dana beasiswa.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 1976, dana yang dimiliki Yayasan Supersemar berasal dari bank milik negara.
Sebab, melalui PP itu pemerintah mewajibkan bank negara menyetor 50% dari 5% laba bersihnya kepada Yayasan Supersemar.
Dalam gugatan dugaan penyelewengan dana beasiswa itu disebutkan bahwa dana beasiswa malah disalurkan kepada 8 perusahaan dan bank, yakni Bank Duta, PT Sempati Air, PT Kiani Lestari, PT Kiani Sakti, PT Kalhold Utama, Essam Timber, PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri, dan Kelompok Usaha Kosgoro.