Bisnis.com, BANDUNG - Buruh di Jawa Barat mulai menjalankan aksi mogok nasional menuntut dicabutnya PP No.78/2015 tentang Pengupahan dan dibebaskannya dua pimpinan nasional buruh yang ditetapkan jadi tersangka.
Ketua Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI) Jabar Ajat Sudrajat mengatakan aksi tersebut diikuti oleh seluruh buruh yang tersebar di delapan provinsi, termasuk di Jabar.
"Energi buruh sudah terkuras sejak sebelum penetapan UMK 2016, jadi kami atur kekuatannya. Mulai Selasa aksi mogok hanya 50% dan sisanya kerja, dan hari berikutnya akan terus bertambah hingga puncaknya pada Jumat (27/11)," katanya, Selasa (24/11/2015).
Dia mengancam apabila pemerintah tetap menganggap aksi buruh tersebut sebagai gerakan main-main, pada 26-27 November buruh akan memaksimalkan kekuatan agar seluruh buruh tidak bekerja dan memastikan seluruh pabrik untuk berhenti produksi.
Apabila perusahaan berhenti berproduksi akan menjadi kerugian besar bagi pengusaha, dan seharusnya menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk segera mencabut PP yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan buruh tersebut.
"Selama mogok, kami arahkan buruh mendatangi tempat-tempat stregis seperti halaman kantor DPRD atau lapangan terbuka untuk menyampaikan aspirasinya," ujarnya.
Meskipun aksi mogok tersebut akan merugikan pihak perusahaan, pihaknya meyakini tidak akan membuat buruh yang tak masuk kerja dipecat, karena sejak awal pihaknya sudah berbicara dengan perusahaan tidak mengajak seluruh buruh mogok secara bersamaan.
"Pada hari pertama ini ada buruh di 16 kabupaten/kota di Jabar yang mulai mogok. Keesokannya terus bertambah menjadi tujuh daerah hingga puncaknya seluruh daerah mogok," paparnya.
Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jabar menilai aksi mogok nasional buruh selama 3 hari ke depan dianggap wajar.
Ketua Apindo Jabar Dedy Widjaja menyatakan aksi mogok tersebut merupakan bentuk kekecewaan dari pekerja atas PP No.78/2015 tentang Pengupahan yang dianggap tidak mensejahterakan buruh.
Dia mengimbau agar aksi mogok nasional jangan sampai merusak fasilitas perusahaan serta melakukan sweeping.
"Kami tidak bisa melarang buruh untuk berunjuk rasa dan mogok kerja. Kami juga tidak setuju dengan PP itu. Namun, sebagai warga negara dengan berat hati harus mengikutinya," ujarnya.
Dedy menjelaskan dunia usaha sudah menghitung jumlah kerugian akibat aksi mogok buruh tersebut, karena sudah bisa diprediksi setiap tahunnya saat proses penetapan upah.
"Dunia usaha sudah pasti mengalami kerugian akibat mogok ini. Karena setiap tahun pasti terjadi hal-hal seperti ini," tuturnya.
Dedy menuturkan buruh harus siap dengan segala konsekuensi yang ditimbulkan ke depannya, apabila perusahaan merugi sehingga tidak dapat beroperasi kembali.
"Buruh harus siap di-PHK apabila perusahaan sudah tak mampu beraktivitas lagi gara-gara pekerja mogok," tegasnya.
Terkait permohonan PTUN atas penetapan upah, Apindo masih melihat kondisi riil di lapangan. Menurutnya setiap tahun keputusan yang diambil PTUN tidak efektif karena pada akhirnya dunia usaha tetap membayar upah yang berlaku.
"Ujung-ujungnya tetap saja tidak ada sanksi, jadi kami kemungkinan tidak akan ambil langkah PTUN," ujarnya.
Pihaknya memperkirakan angka upah tertinggi di Kabupaten Karawang mencapai Rp3,3 juta dipastikan akan membuat dunia usaha merugi. Bahkan, angka kemiskinan di kabupaten tersebut akan meningkat karena banyaknya PHK.
Adapun, keinginan pekerja yang ingin menganulir nilai upah, Dedy mengatakan sah-sah saja. Apabila hal tersebut dilakukan maka upah 2015 tetap berlaku.
"Kami senang saja kalau dianulir, berarti upah 2015 yang berlaku sebab untuk tahun depan mepet waktu untuk anulir," katanya.