Kabar24.com, JAKARTA --Dinas pendidikan selama ini dinilai tidak membuat pemetaan untuk menklasifikasi sekolah-sekolah yang rawan atau berpotensi terjadi budaya kekerasan dan antikeragaman.
Akibat tidak adanya pemetaan tersebut, masih banyak tindak kekerasan yang terjadi di sekolah.
Banyak sekolah di Indonesia yang terindikasi telah menjadi lokasi tindak kekerasan dan ada sekolah yang siswanya terlibat dalam tawuran antarpelajar.
Menurut Sekertaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyanti, kasus tawuran pelajar seperti gunung es, hanya terlihat pucuknya saja karena pemberitaan yang terbatas. Sesungguhnya, kasus tawuran pelajar terjadi secara merata di banyak daerah.
"Selama ini yang terlihat kasus tawuran dan kekerasan lebih banyak di kota besar karena terekspose media. Padahal di kota kecil juga kerap terjadi, tapi karena tidak tercium oleh media jadi dianggap tidak ada," ungkap Retno melalui keterangan tertulis yang diterima Rabu (28/10/2015).
Retno mengungkapkan, terdapat beberapa sekolah yang diduga kuat memiliki budaya kekerasan, terutama sekolah-sekolah di kota besar.
"Kadar budaya kekerasan yang ada di sekolah-sekolah tersebut memang berbeda-beda, namun menunjukkan peningkatan kejadian maupun jenis kekerasannya," papar mantan Kepala SMA Negeri 3 Jakarta ini.
Retno juga memaparkan ancaman serta kekerasan yang kerap terjadi di sekolah-sekolah antara lain kekerasan finansial atau pemerasan terhadap individu, massal bahkan tersistematis melalui kegiatan-kegiatan kesiswaan.
"Yang sering kali terekspose oleh media salah satunya adalah kekerasan fisik seperti berkelahi, tawuran, pengeroyokan serta kekerasan verbal seperti membentak, mengancam, melecehkan dan menghina," jelasnya.
Untuk itu, FSGI mengimbau dilakukan sosialisasi aturan terkait kedisiplinan di sekolah dengan orangtua siswa. Komunikasi harus dibangun antara sekolah dengan orang tua secara terus menerus dan secara kekeluargaan.
Berdasarkan pemantauan FSGI, lanjut Retno, selama setahun ini para guru ternyata tidak memiliki skill dalam mengatasi kekerasan di sekolahnya.
Untuk itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Dinas Pendidikan daerah harus membuat program pelatihan bagi guru terkait skill mencegah, menangani dan mengatasi keekerasan.
"Dinas jangan menyerahkan urusan ini ke pihak sekolah, karena berarti membiarkan kepala sekolah menghadapi dan menanggung risikonya sendiri, termasuk ketika digugat secara hukum oleh orangtua saat menegakkan aturan atau saat tidak didukung kebijakannya oleh Dinas Pendidikan," tandasnya.