Bisnis.com, JAKARTA - Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat didesak memperbarui ketentuan terkait peradilan pemilihan kepala daerah dalam revisi Undang-undang No.8/2015.
Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan, Presiden dan DPR akan merevisi UU No.8/2015 sebagai akibat putusan Mahkamah Konstitusi tentang penetapan calon tunggal dalam Pilkada.
Dia berharap proses revisi juga dimanfaatkan untuk memperbarui ketentuan dalam peradilan Pilkada. Khususnya terkait batasan waktu pengajuan sengketa, waktu bagi MK untuk menyelesaikan sengketa, dan ketentuan ambang batas syarat pengajuan sengketa.
"Pembuatan UU kebanyakan semua bongkar pasang. Negara bongkar pasang karena tak memiliki landasan konstitusi yang baik,"katanya, Rabu(30/9/2015).
Seperti diketahui, peraturan terkait Pilkada sudah mengalami perubahan berulang kali. UU No.8/2015 merupakan Perubahan Atas Undang-undang No. 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1/ 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Dalam aturan dinyatakan bahwa MK akan mengadili perkara yang masuk sebelum tenggat waktu 3 hari. Menurut dia, hal itu secara objektif berpotensi membatasi hak para pencari keadilan untuk mengajukan gugatan sengketa Pilkada.
Halili, Peneliti Setara Institute, menambahkan ambang batas waktu pengajuan sengketa itu tampaknya terlalu memaksakan dan merupakan upaya seleksi kasus secara berlebihan.
Menurut dia, MK dihadapkan pada tiga situasi, yakni waktu Pilkada yang sempit, terbatasnya kapasitas yudisial dengan kuantitas hakim yang minim, dan adanya potensi bom perkara.
"Menurut kami itu waktu yang tidak masuk akal, terutama bagi daerah yang tak punya akses komunikasi dan transportasi yang memadai,"katanya.