Kabar24.com, JAKARTA-- Dunia astronomi dikejutkan dengan penelitian para ahli.
SIMAK: Mitos dan Fakta Buah Durian
Menurut temuan terbaru neraka itu nyata. Setidaknya bagi para astronom yang menemukan planet di luar Tata Surya dengan label HD189733b ini.
BACA JUGA: BURUH KEPUNG ISTANA: Ahok Ingin Demo Seperti di London
Hasil pengukuran sekelompok astronom gabungan dari University of Geneva dan Bern University, Swiss, menunjukkan atmosfer eksoplanet itu bagaikan neraka.
SIMAK: PARKIR LIAR DI GEDUNG DEWAN: Sehari, Jukir Minimal Dapat Rp3 Juta
Kecepatan angin planet tersebut diperkirakan mencapai 1.000 kilometer per jam dengan suhu di atas 3.000 derajat Celsius.
"Suhunya melebihi matahari, mungkin seperti neraka," kata Aurelien Wyttenbach, pakar magnetik sains yang juga anggota penelitian, seperti dikutip Science Daily.
BACA JUGA: Tips Mengatasi Rambut Rontok untuk Pengguna Hijab
Pengukuran suhu atmosfer planet di luar Tata Surya (eksoplanet) itu dilakukan dengan presisi tinggi. Para peneliti menggunakan dua pendekatan, yakni pendekatan yang didasari spektrometer HARPS, alat optik untuk menghasilkan garis spektrum cahaya dan mengukur panjang gelombang serta intensitasnya dan cara baru menafsirkan natrium.
SIMAK: Presiden Jokowi Bertemu Bos IMF Sore Ini
Dengan suhu mencapai 3.000 derajat Celsius dan angin yang berembus dengan kecepatan ribuan kilometer per jam, atmosfer HD189733b memang sangat bergejolak.
“Hasil ini membuka mata kita agar berpikir beribu kali jika ingin mendekat ke atmosfer eksoplanet tersebut," kata Wyttenbach.
BACA JUGA: Rupiah Melemah, Begini Cara Hemat Melancong ke Luar Negeri
Angka ini didapatkan melalui pantauan rembetan spektrum natrium. Unsur ini banyak beterbangan di atmosfer eksoplanet tersebut dan diamati dengan teleskop European Star Observatory di Cile.
Temuan tersebut diterbitkan dalam dua jurnal, yakni Astronomy & Astrophysics serta Astrophysical Journal Letters.
Diidentifikasi
Lebih jauh tim menyebut, ketika berada di atmosfer, natrium menjadi sumber sinyal yang mudah dikenali. Intensitasnya bervariasi selama planet tempat bernaungnya mengorbit pada bintang. Kandungan ini telah diidentifikasi pada tahun 2000, tapi baru diamati dua tahun kemudian dengan menggunakan teleskop ruang angkasa Hubble.
Sementara itu, pengamatan terhadap kandungan ini dari bumi hanya bisa dilakukan dengan menggunakan teleskop raksasa berdiameter 8-10 meter.
Astronom dari UNIGE kemudian memiliki ide mengamati natrium dengan spektrometer HAPRS. Dengan pengamatan selama bertahun-tahun, Wyttenbach dan timnya akhirnya mampu mendeteksi variasi dalam garis natrium selama beberapa orbit HD189733b.
BACA JUGA: BURUH KEPUNG ISTANA: 8 Ribu Buruh dari Tangerang Menuju Istana
Uniknya, analisis data HARPS di bumi menghasilkan deteksi setara dalam hal sensitivitas dibanding teleksop ruang angkasa Hubble.
Bahkan, tutur Wyttenbach, jauh lebih baik dalam resolusi spektral. Karena itu, ia mengklaim, pengamatan dengan spektrometer HARPS memungkinkan analisis jauh lebih kuat ketimbang Hubble, meski diameternya lebih sederhana ketimbang Hubble.
Dalam penelitian lainnya, Kevin Heng dari Bern University, mengembangkan teknik terbaru untuk menafsirkan variasi garis natrium. Alih-alih menggunakan model komputer canggih, ia hanya membuat satu rumus sederhana yang memungkinkan analisis variasi suhu, kepadatan, dan tekanan dalam atmosfer.
Kedua penelitian tersebut, menurut Wyttenbach, akhirnya akan membuka jalan untuk menjelajahi atmosfer di eksoplanet lainnya dengan cara yang lebih mudah diakses.