Bisnis.com, JAKARTA Perumusan legally binding treaty dalam bisnis dan hak asasi manusia (HAM) pertemuan Kelompok Kerja Bisnis dan HAM di Jenewa diharapkan mampu mengontrol aktivitas perusahaan transnasional yang selama ini dianggap melakukan pelanggaran HAM tanpa adanya mekanisme remedi yang efektif.
Koordinator Indonesia Focal Point dari Jenewa Rachmi Hertanti Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) serta beberapa kasus yang berhubungan dengan praktik buruk korporasi di sektor sumber daya alam menjadi latar belakang perumusan treaty binding dalam bisnis dan HAM tersebut.
Rachmi menyebutkan, pembangunan Food Estate di Merauke pada permerintahan presiden Susilo Bambang Yodhoyono yang juga dikukuhkan kembali oleh Presiden Joko Widodo membuktikan bahwa agenda pembangunan ekonomi Indonesia selama ini tidak pernah mempertimbangkan kepentingan masyarakat, bahkan tidak mempedulikan HAM.
Kita butuh instrumen hukum yang mengikat untuk memastikan negara menjalankan kewajibannya dalam menegakan perlindungan HAM di Indonesia, kata Rachmi.
Menurutnya, selama ini pemerintah justru memperlemah perlindungan HAM di Indonesia melalui penyusunan peraturan perundang-undangan yang lebih banyak melindungi kepentingan investor daripada kepentingan masyarakat, dengan dalih atas nama pembangunan ekonomi.
Anggapan tersebut, lanjutnya, semakin diperkuat dengan masifnya kesepakatan free trade agreement (FTA) dan bilateral treaty oleh pemerintah dinilai menghilangkan peran negara untuk menyusun peraturan perudang-undangan yang melindungi hak asasi manusia (HAM).